1.
PENDAHULUAN
Sebagaimana
diketahui banyak kalangan agama, membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama.
Banyak yang ingin mendalami dan memyelami seluk-beluk agamanya secara mendalam,
akan tetapi perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya.
Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan
pada landasan kuat, yang tidak mudah diombang-ambing oleh peredaran zaman.
Di dalam tatanan istilah arab
ajaran-ajaran dasar itu disebut Usul al Din dan buku yang
membahas masalah-masalah teologi dalam Islam selalu diberi nama Kitab Usul
al Din oleh para pengarangnya. Teologi dalam Islam disebut juga ‘ilm
al-tauhid. Kata tauhid di sini mengandung arti satu atau esa dan keesaan
dalam pandangan Islam, merupakan sifat yang terpenting diantara segala
sifat-sifat Tuhan yang kemudian teologi Islam disebut juga ‘ilm
al-kalam.
Resume buku merupakan slah satu
tugas yang harus dikerjakan oleh mahasiswa sebagai tugas Ujian Tengah Sememster
(UTS). matakuliah ilmu kalam yang dibimbing adalah salah satu. Dalam
kesempatan kali ini saya sebagai mahsiswa yang di ajar oleh Bapak Drs. S.
Hamdani, MA berkewjiban meresum buku, adapun buku yang akan saya resum adalah buku
ilmu kalam yang berjudul “ Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan “ yang ditulis oleh Prof. Dr. Harun Nasution.
A.
Daftar Isi
Buku
·
Bab I Sejarah Timbulnya
Persoalan-persoalan Teologi Dalam Islam
·
Bab II Kaum Khawarij
·
Bab III Kaum Murji’ah
·
Bab IV Qadariah dan
Jabariah
·
Bab V Kaum Mu’tazilah
·
Bab VI Ahli Sunnah dan
Jama’ah
·
Bab VII Akal dan Wahyu
·
Bab VIII Fungsi Wahyu
·
Bab IX Free Will dan
Predestination
·
Bab X Kekuasaan dan
Kehendak Mutlak Tuhan
·
Bab XI Keadilan Tuhan
·
Bab XII Perbuatan-Perbuatan
Tuhan
·
Bab XIII Sifat-Sifat TuhanBab XIV Konsep
Iman
·
Bab XV Kesimpulan
·
Bab XVI Saran dan Kritik
2.
RESUME BUKU
BAB I
SEJARAH TIMBULNYA
PERSOALAN-PERSOALAN TEOLOGI DALAM ISLAM
Dalam agama
Islam persoalan yang pertama-tama timbul adalah dalam bidang politik dan bukan
dalam bidang teologi. Ketika Nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan ajaran-ajaran
Islam yang beliau terima dari Allah SWT di mekkah, kota ini mempunyai sistem
kemasyarakatan yang terletak di bawah pimpinan suku bangsa Quraisy.
Dalam
sejarah, selama di Mekkah Nabi Muhammad SAW hanya mempunyai fungsi sebagai
kepala agama, dan tidak mempunyai fungsi sebagai kepala pemerintahaan, karena
kekuasaan politik yang ada di sana belum dapat dijatuhkan pada waktu itu. Di
Madinah sebaliknya, Nabi Muhammad SAW, di samping menjadi kepala agama juga
menjadi kepala pemerintahan. Beliaulah yang mendirikan kekuasaan politik yang
dipatuhi di kota ini.
Ketika
beliau wafat tahun 632 M masyarakat Madinah sibuk memikirkan pengganti beliau
untuk mengepalai negara yang baru lahir itu, sehingga penguburan Nabi merupakan
soal kedua bagi mereka. Timbulah masalah khilafah, soal pengganti
Nabi Muhammad SAW sebagai kepala negara. Sebagai Nabi atau Rasul, Nabi tentu
tidak dapat digantikan.
Sejarah
meriwayatkan bahwa Abu Bakar-lah yang disetujui oleh masyarakat Islam pada
waktu itu menjadi pengganti atau khalifah Nabi dalam mengepalai negara mereka.
Kemudian Abu Bakar digantikan oleh ‘Umar Ibn al-Khattab oleh ‘Usman Ibn ‘Affan
oleh Ali Ibn Tholib.
Usman
termasuk dalam golongan pedagang Quraisy yang kaya. Kaum keluarganya terdiri
dari orang aristokrat Mekkah yang karena pengalaman dagang mereka, mempunyai
pengetahuan tentang administrasi. Pengetahuan mereka ini bermanfaat dalam
memimpin administrasi daerah-daerah di luar Semenanjung Arabia yang bertambah
banyak masuk ke bawah kekuasaan Islam. Ahli sejarah menggambarkan ‘Usman
sebagai orang yang lemah dan tidak sanggup menentang ambisi kaum keluarganya
yang kaya dan berpengaruh itu. Ia mengangkat mereka menjadi gubernur di daerah
yang tunduk kepada kekuasaaan Islam. Gubernur-gubernur yang diangkat oleh ‘Umar
Ibn al-Khattab, khalifah yang terkenal sebagai orang kuat dan tidak
mementingkan kepentingan keluarganya, dijatuhkan oleh ‘Usman.
Tindakan-tindakan
politik yang dijalankan ‘Usman ini menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan
bagi dirinya. Sahabat-sahabat Nabi yang pada mulanya menyokong ‘Usman, ketika
melihat tindakan yang kurang tepat itu, mulai meninggalkan khalifah yang ketiga
ini. Orang-orang yang semula ingin menjadi khalifah atau yang ingin calonnya
menjadi khalifah mulai pula menanggukan di air keruh yang timbul pada waktu
itu. Perasaan tidak senang muncul di daerah-darerah. Dari Mesir, sebagai reaksi
dijatuhkannya ‘Umar Ibn al-‘As yang digantikan oleh Abdullah Ibn Sa’d Ibn Abi
Sarah, salah satu kaum keluarga ‘Usman, sebagai Gubernur Mesir, lima ratus
pemberontak kumpul dan kemudian bergerak ke Madinah. Perkembangan suasana di
Madinah selanjutnya membawa kepada pembunuhan ‘Usman oleh pemuka-pemuka
pemberontak dari Mesir ini.
Setelah
‘Usman wafat ‘Ali, sebagai calon terkuat menjadi khalifah yang keempat. Tetapi
segera ini mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin menjadi khalifah,
terutama Tolhah dan Subeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari ‘Aisyah.
Tantangan dari ‘Aisyah, Talhah dan Zubeir ini dipatahkan ‘Ali dalam pertempuran
yang terjadi di Irak tahun 656. Talhah dan Zubeir mati terbunuh dan ‘Aisyah
dikirim kembali ke Mekkah.
Pada masa
khalifah ‘Ali dan sesudahnya, umat Islam pecah menjadi beberapa aliran-aliran
teologi penting yang timbul dalam Islam ialah aliran Khawarij, Murjiah,
Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturudiyah. Aliran-aliran Khawarij tidak, Murjiah
dan Mu’tazilah tidak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah.
BAB 2
KAUM KHAWARIJ
Kaum
Khawarij adalah terdiri dari pengikut-pengikut ‘Ali Ibn Thalib yang
meninggalkan barisannya, karena tidak setuju dengan sikap ‘Ali Ibn Thalib dalam
menerima arbitase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan tentang
khalifah dengan Mu’awiyah Ibn Sofyan.
Setelah
memisahkan dari Ali mereka memilih ‘Abdullah Ibn Abi Wahb al-Rasidi menjadi
imam mereka sebagai ganti dari ‘Ali Ibn Abi Talib. Dalam pertempuran dengan
kekuatan ‘Ali mereka mengalami kekalaha besar, namun akhirnya seorang Khawarij
bernama ‘Abd al-Rahman Ibn Muljam dapat membunuh ‘Ali.
Dalam
masalah teologi khusus mengenai masalah kufr, kaum Khawarij yang
pada umumnya terdiri dari orang orang-orang Arab Badawi berpendapat bahwa
‘Usman dan ‘Ali bagi mereka telah menjadi kafir, demikian pula halnya dengan
Mu’awiyah, Amr Ibn al-‘As, Abu Musa al-Asy’ari serta semua orang yang mereka
anggap telah melanggar ajaran-ajaran Islam.
Menurut
al-Syahrastani, mereka terpecah menjadi delapan belas subsekte, dan
menurut al-Baghdadi menjadi dua puluh subsekte. Al-Asy’ari menyebut
sebsekte-subsekte yang jumlahnya lebih besar lagi.
Di sinilah
letak penjelasannya, bagaimana mudahnya kaum Khawarij terpecah belah menjadi
golongan-golongan kecil serta dapat pula dimengerti tentang sikap mereka yang
terus-menerus mengadakan perlawanan terhadap penguasa-penguasa Islam dan umat
Islam yang ada di zaman mereka.
·
Al-Muhakkimah
Golongan Khawarij asli dan terdiri
dari para pengikut ‘Ali, disebut goloongan Al-Muhakkimah. Berbuat zina
dipandang sebagai salah satu dosa besar, maka menurut paham golongan ini orang
yang mengerjakan zinah telah menjadi kafir dan keluar dari Islam. Begitu pula
membunuh sesama manusia tanpa sebab yang sah adalah dosa besar.
·
Al-Azariqah
Golongan yang dapat menyusun barisan
baru dan besar lagi kuat setelah golongan al-Muhakkimah hancur adalah golongan
Azariqah. Pengikut Azariqah menurut al-Baghdadi, berjumlah lebih dari 20 ribu
orang. Khalifah yang pertama kali mereka pilih adalah Nafi’.
Subsekte ini
sifatnya lebih radikal dari al-Muhakkimah. Mereka tidak lagi memakai term
kafir, tetapi term musyrik atau polytheist. Di dalam Islam kedua term tersebut
merupakan dosa yang terbesar, lebih besar dari kufr.
Menurut
paham subsekte yang ekstrim ini hanya merekalah yang sebenarnya orang Islam.
Orang Islam yang di luar lingkungan mereka adalah kaum musyrik yang
harus diperangi. Oleh karena itu kaum al-Azariqah, sebagai disebut Ibn al-Hazm,
selalu mengadakan isti’rad yaitu bertanya tentang pendapat atau keyakinan
seseorang.siapa saja yang mereka jumpai dan mengaku Islam namun tidak termasuk
golongan al-Azariqah, mereka bunuh.
·
Al-Najdat
Nadjah, berlainan dengan kedua
golongan di atas, berpendapat bahwa orang berdoasa besar yang menjadi kafir dan
kekal dalam neraka hanyalah orang Islam yang tak sepaham dengan
golongannya. Adapun pengikutnya apabila mengerjakan dosa besar, betul akan
mendapat siksaan, tetapi bukan dalam neraka, dan kemudian akan masuk surga.
Dalam
kalangan al-Khawarij, golongan ini kelihatanya yang pertama membawa paham taqiah, yaitu
merahasiakan dan tidak menyatakan keyakinan untuk keamanan diri
seseorang. Taqiah,menurut pendapat mereka bukan hanya dalam bentuk
ucapan, tetapi juga dalam bentuk perbuatan. Jadi seseorang boleh mengeluarkan
kata-kata dan boleh melakukan perbuatan-perbuatan yang mungkin menunjukan bahwa
pada lahirnya dia bukan orang Islam, tetapi pada hakikatnya dia menganut Islam.
·
Al-‘Ajaridah
Kaum al-Jridah bersifat lebih lunak,
karena menurut mereka berhijrah bukanlah merupakan kewajiban sebagai diajarkan
oleh Nafi’ Ibn al-Azraq dan Nadjah, tetapi merupakan kebajikan.[5] Dengan
demikian kaum ‘Adarijah boleh tinggal di luar daerah kekuasaan mereka dengan
tidak dianggap menjadi kafir.
Selanjutnya kaum ‘Ajaridah ini mempunyai
paham puritanisme. Surat Yusuf dalam al-Qur’an membawa cerita cinta dan
al-Qur’an, sebagai kitab suci, kata merekan, tidak mungkin mengandung cerita
cinta.
·
Al-Sufriah
Pemimpin golongan ini ialah Ziad Ibn
al-Asfar. Dalam paham mereka dekat dengan golongan al-Azariqah dan oleh karena
itu juga merupakan golongan yang ekstrim dari yang lain, antara lain:
a) Taqiah hanya
boleh dalam bentuk perbuatan dan tidak dalam bentuk perbuatan.
b) Untuk
keamanan dirinya perempuan Islam boleh kawin dengan lelaki kafir, di daerah
bukan Islam.[6]
·
Al-Ibadiah
Golongan ini merupakan golongan yang
paling moderat dari seluruh golongan Khawarij. Namanya diambil dari ‘Abdullah
Ibn Ibad, yang pada tahun 686M, memisahkan diri dari golongan al-Azariqah.
Paham moderat mereka dapat dilihat dari ajaran-ajaran berikut:
a) Orang
Islam yang tak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukanlah musyrik, tapi
kafir.
b) Orang
Islam yang berbuat dosa besar adalah muwahhid yang meng_Esa-kan Tuhan, tapi
bukan mukmin dan bukan kafir al-Millah, yaitu kafir agama.
BAB 3
KAUM MURJI’AH
Sebagaimana
halnya dengan kaum Khawarij, kaum Murji’ah pada mulanya juga ditimbulkan oleh
persoalan politik, tegasnya persoalankhilafah yang membawa
perpecahan dikalangan umat Islam setelah ‘Usman Ibn Affan mati terbunuh.
Seperti telah dilihat kaum Khawarij, pada mulanya adalah penyokong ‘Ali, tapi
kemudian berbalik menjadi musuhnya. Karena adanya perlawanan ini,
penyokong-penyokong yang tetap setia kepadanya bertambah keras dan kuat
membelanya dan akhirnya mereka merupakan satu golonganlain dalam Isalmyang
dikenal dengan nama Syi’ah.
Kata
Murji’ah berasal dari Aarj’a yang mengandung arti memberi pengharapan. Orang
yang berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar
bukanlah kafir tetapi mukmin dan tidak akan kekal dalam neraka, memang
memberi pengharapan kepada yang berbuat dosa besar untuk mendapat rahmat
Allah. Oleh karena itu ada juga pendapat bahwa nama Murji’ah diberikan kepada
golongan ini, bukan karena mereka menunda penentuan hokum terhadap orang Islam
yang berbuat dosa besar kepada Allah di hari perhitungan kelak dan bukan pula
karena mereka memandang perbuatan mengambil tempat kudian dari iman, tapi
karena memberi pengharapan bagi orang yang berbuat dosa besar untuk masuk
surga.
Pada umumnya
kaum Murji’ah dapat dibagi kedalam dua golongan besar, golongan moderat dan
golongan ekstrim.
Golongan moderat berpendapat bahwa
orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi
akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan
ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak
akan masuk neraka sama sekali.
Salah satu
tokoh besar kaum Murji’ah adalah Abu Hanifah. Di dalam hal ini Abu Hanifah
memberi definisi iman sebagai berikut: iman adalah pengetahuan dan pengakuan
tentang Tuhan, tentang Rasul-Rasul-Nya dan tentang segala apa yang datang dari
Tuhan dalam keseluruhan dan tidak dalam perincian, iman tidak mempunyai sifat
bertambah atau berkurang, dan tidak ada perbedaan antara manusia dalam hal
iman.
Namun
menurut al-Asy’ariyah sendiri iman ialah pengaukuan dalam hati tentang keesaan
Tuhan dan tentang kebenaran Rasul-Rasul serta segala apa yang mereka bawa.
Mengucapkan dengan lisan dan mengerjakan rukun-rukun Islam merupakan cabang
dari iman. Orang yang berdosa besar, jika
meninggalkan dunia tanpa taubat, nasibnya terletak di tangan Tuhan. Ada
kemungkinan Tuhan akan mengampuni dosa-dosanya, dan ada pula kemungkinan Tuhan
tidak akan mengampuni dosa-dosanya dan akan menyiksanya sesuai dengan dosa-dosa
yang dibuatnya dan kemudian baru ia dimasukan ke dalam surga, karena tidak
mungkin ia kekal tinggal dalam neraka.
Ringkasnya menurut uraian di atas orang yang berdosa besar bukanlah kafir,
dan tidak kekal dalam neraka. Orang demikian adalah mukmin dan akhirnya akan
masuk surga.
Selanjutnya, sebagai kesimpulan dapat dikemukakan bahwa golongan Murji’ah
moderat, sebagai golongan yang berdiri sendiri telah hilang dalam sejarah dan
ajaran mereka mengenai iman, kufr dan dosa besar masuk ke dalam aliran Ahli
Sunnah dan Jama’ah. Adapun golongan Murji’ah ekstrim juga telah hilang sebagai
aliran yang berdiri sendiri, tetapi dalam praktek masih terdapat sebagian umat
Islam yang menjalankan ajaran-ajaran ekstrim itu, mungkin dengan tidak sadar
bahwa mereka sebenarnya dalam hal ini mengikuti ajaran-ajaran golongan Murji’ah
ekstrim.
BAB 4
QADARIAH DAN
JABARIAH
Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk manusia itu sendiri.
Selanjutnya Tuhan bersifat Mahakuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat
mutlak. Dari sini timbulah pertanyaan sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan
Tuhan, bergantung kepada kehendak dan kekuasan mutlak Tuhan dalam menetukan
perjalanan hidup? Diberi Tuhankah manusia kemerdekaan dalam mengatur hidupnya?
Ataukah manusia terikat sepenuhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan?
Dalam pandangan Qadariah menjawab pertanyan-pertanyaan di atas berpendapat
bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan
hidupnya. Menurut paham Qadariah manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan
sendiri untuk mewujudkan perbuata-perbuatanya. Dengan demikian nama Qadariah
berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadaratau
qadar Tuhan. Dalam istilah inggrisnya paham ini dikenal dengan
nama free will dan free act.
Sebaliknya
pada kaum Jabariah. Manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menetukan
kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam pada paham ini terikat pada kehendak
mutlak Tuhan. Jadi nama jabariah berasal dari jabar yang
mengandung arti memaksa dan dalam istilah inggrisnya disebut dengan fatalism atau predestination.
Aliran
Qadariah berkembang dalam sejarah tidak diketahui pasti kapan paham ini timbul,
tapi menurut keterangan para ahli ilmu teologi Islam, paham qadariah kelihatnnya
ditumbulkan buat pertama kali oleh seorang yang bernama Ma’bad
al-Juhani.menurut Ibn Nabatah Ma’bad al-Juhani bersama temannya yang bernama
Ghalian al-Dimasqi mengambil paham ini dari seorang Kristen yang masuk Islam di
Irak.
Sedangkan
Jabariah, kelihatannya ditunjukan pertama kali dalam sejarah teologi Islam oleh
al-Ja’d Ibn Dirham, tapi yang menyiarkannya adalah Jahm Ibn Safwan dari
Khurasan.
Salah satu ayat-ayat yang boleh
membawa kepada pahamqadariah seperti:
“Tuhan tidak
mengubah apa yang ada pada suatu bangsa, sehingga mereka mengubah apa yang ada
pada diri mereka.” (QS. Al-Rafd: 11)
Selanjutnya, salah satu ayat-ayat
yang membawa kepada paham jabariah, seperti:
”Allah
menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.” (QS.
Al-Saffat: 96)
BAB 5
KAUM MU’TAZILAH
Kaum
Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih
mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum
Khawarij dan Murji’ah. Dalam
pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “ kaum
rasionalis Islam.”
Ada salah satu keterangan bahwa asal usul kaum aum Mu’tazilah berawal dari
peristiwa yang terjadi diantara Wasil Ibn ’Ata’ serta temannya ’Amr Ibn ’Ubaid
dan Hasan al-Basri di Masjid Basrah. Pada suatu hari datang seorang bertanya
mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Sebagaimana yang
diketahui orang Khawarij memandang mereka kafir sedangkan kaum Murji’ah
memandang mereka mukmin. Ketika Hasan al-Basir masih berpikir, Wasil
mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan: ”Saya berpendapat bahwa
orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukanlah kafir, tetapi mengambil
posisi diantara keduanya; tidak mukmin dan tidak kafir.” kemudian ia berdiri
dan menjauhkan diri dari Hasan al-Basri pergi ke tempat lain di masjid; di sana
ia mengulangai pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan al-Basri
mengatakan: ” Wasil menjuh diri dari kita (i’tazala’ ana).” Dengan
demikian ia berserta teman-temannya,kata al-Sayahrastani, disebut kaum
Mu’tazilah.
Kata Mu’tazilah berasal dari ”i’tazala” dan ”al-Mu’tazilah”telah
dipakai kira-kira seratus tahun sebelum peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri,
dalam arti golongan yang tidak mau turut campur dalam pertikain politik yang
ada di zaman mereka.
Dari uraian-uraian di atas dapat diketahui bahwa orang pertam membina
aliran Mu’tazilah adalah Wasil Ibn ’Ata’. Sebagai dikatakan al-Mas’udi, ia
adalah, syeikh al-Mu’tazilah wa qadil muha,yaitu kepala
dan Mu’tazilah yang tertua. Ia lahir tahun 81 H di Madinah dan meninggal
tahun 131 H. Di sana ia belajar pada Abu Hasyim ’Abdullah Ibn Muhammad Ibn
al-Hanafiah, kemudian pindah ke Basrah dan belajar kepada Hasan al-Basri.
Dua ajaran yang ditinggal oleh Wasil yaitu posisi menengah dan peniadaan
sifat-sifat Tuhan, kemudian merupakan bagian integral dari al-Ushul
al-Khamasah atau pancasila Mu’tazilah. Ketiga sila lainnya
adalah al-’adl; keadialn tuhan, al-wa’ad wa al wa’id,janji
baik dan ancaman dan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ’an
al-munkar, memrintahkan orang berbuat baik dan melarang orang berbuat
jahat wajib dijalankan kalau perlu dengan kekerasan. Adapun tokoh-tokoh lain
dari Mu’tazilah yaitu Bisyr Ibn Sa’id, Abu ’Usman al-Za’farani, Abu al-Huzail
al-’Allaf dan Bisyr Ibn Mu’tamar.
Menurut al-Khayyat, orang yang diakaui menjadi pengikut atau penganut
Mu’tazilah, hanyalah orang yang mengakui dan menerima kelima dasar yang telah
disebut di atas. Orang yang menerima hanya sebagian dari dasar-dasar tersebut
tidak dapat dipandang sebagai orang Mu’tazilah. Al-Ushul al-Khamasah, sebai
dikemukakan oleh pemuka-pemuka Mu’tazilah sendiri, diberi urutan menurut
pentingnya kedudukan tiap dasar, sebagai berikut.
Al-Tawhid,
al-’Adl, al-Wa’adwa al-Wa’id, al-Manzilahbain al-Manzilatain dan al-’Amrbi
al-Ma’rufwaalNahy ’an al-Munkar.
BAB 6
AHLI SUNNAH DAN
JAMA’AH
Ahli Sunnah dan Jama’ah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham
golongan-golongan Mu’tazilah yang telah dijelaskan sebelumnya dan terhadap
sikap mereka yang menyiarkan ajaran-ajaran itu. Mulai dari Wasil, usaha-usah
telah dijalankan untuk menyebar ajaran-ajaran itu, di samping usaha-usaha yang
dijalankan dalam menentang serangan musuh-musuh Islam.
Puncak kejayaan kaum Mu’tazilah pada waktu itu ialah pada masa khalifah
setelah al-Ma’mun di tahun 827 M mengakui Mu’tazilah sebagai madzhab resmi yang
dianut oleh negara.
Pada hakikatnya kaum Mu’tazilah tidak begitu banyak berpegang pada sunnah
atau tradisi, bukan karena mereka tidak percaya pada tradisi Nabi dan para
sahabat, tapi mereka ragu akan keoriginilan hadits-hadits yang mengandung
sunnah atau tradisi itu. Oleh karena itu mereka dapat dipandang sebgai golongan
yang tidak berpegang teguh pada sunnah.
Mungkin dari sinilah yang menimbulkan term ahli Sunnah dan jama’ah, yaitu
golongan yang berpegang pada sunnah lagi merupakan mayoritas, sebagai lawan
dari golongan Mu’tazilah yang bersifat minoritas dan tidak kuat berpegang pada
sunnah.
Ahli Sunnah dan Jama’ah di dalam lapangan teologi Islam adalah kaum
Asy’ariyah dan kaum Maturidi. Walaupun al-Asy’ari sendiri telah telah puluhan
tahun menganut paham Mu’tazilah, akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah.
Tokoh-tokoh
dalam golongan Asy’riaah diantaranya, Abu Hamid al-Ghazali, al-Juwani,
al-Baqillani, dll.
Adapun ajaran-ajaran al-Asy’ari sendiri dapat diketahui dari buku-buku yang
ditulisnya, terutama dari kitab al-Luma’ Fi al-Rad ’ala
Ahlal-Ziagh wa al-Bida’ dan al-Ibanah ’an Ushul
al-Dianah di damping buku-buku yang ditulis oleh para pengikutnya.
Sebagai penentang Mu’tazilah, sudah tentia ia berpendapat bahwa Tuhan mempunyai
sifat. Mustahil kata al-Asy’ari Tuhan mengetahui dengan zat-nya, karena dengan
demikian zat-Nya adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan
bukan pengetahuan (ilm) tetapi Yang Mengetahui (’Alim). Tuhan
mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukalah zat-Nya. Demikian
pula dengan sifat-sifat seperti sifat hidup, berkuasa, mendenganr dan melihat.
·
Aliran
Maturudiah
Abu Mansur
Muhammad Ibn Muhammad Ibn Muhammad al-Maturidi lahir di Samarkand pada
pertengan kedua dari abad ke sembilan Masehi dan meninggal di tahun 944 M.
Tidak banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya. Ia adalah pengikut Abu H
nifah dan faham-faham teologinya banyak banyak persamaannya dengan faham-faham yang
dimajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur
termasuk dalam golongan teologi Ahli Sunnah dan Jama’ah dan dikenal dengan nama
al-Maturudiah.
Literatur mengenai ajaran-ajaran Abu Mansur dan aliran al-Maturudiah tidak
sebanyak literatur mengenai ajaran-ajaran Asy’ariah. Buku-buku yang banyak
membahas tentang sekte-sekte seprti buku-buku al-Syahrastani, Ibn Hazm,
al-Baghdadi dan lain-lain tidak memuat keterangan-keterangan tentang
al-Maturidi atau pengikut-pengikutnya. Karangan-karangan al-Maturidi sendiri
belum dicetak dan tetap dalam bentuk MSS (Makhtutat). Diantaranya yaitu,Kitab
al-Tauhid, Risalah Fil al-‘Aqa’id, Syarh al-Fiqh al-Akbar, Usul al-Din (dikarang
oleh pengikutnya) dan Kitab Ta’wil al-Qur’an.
Al-Maturudi banyak memakai akal dalam sistem teologinya. Oleh karena itu
antara teologinya dan teologi yang ditimbulkan oleh al-Asy’ari terdapat
perbedaan, keduanya timbul sebagai reaksi terhadap aliran Mu’tazilah.
Salah satu perbedaan tersebut adalah mengenai soal al-wa’ad wa
al-wa’id al-Maturidi sefaham dengan Mu’tazilah. Janji-janji dan ancaman-ancaman Tuhan, tak boleh mesti terjadi kelak. Dan
juga dalam soal anthropomorphisme al-Maturudi sealiran dengan Mu’tazilah. Ia
tidak sependapat dengan al-Asy’ari bahwa ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan
mempunyai bentuk jasmani tidak dapat diberi interprestasi atau ta’wil. Menurut
pendapatnya tangan, wajah dan sebagainya mesti diberi arti majazi atau
kiasan. Dalam aliran al-Maturidi sendiri terdapat dua golongan: golongan
samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri dan golongan Bukhara
yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi.
Aliran
al-Maturudiah banyak dianut oleh umat Islam yang memakai mazhab Hanafi.
BAB 7
AKAL DAN WAHYU
Teologi sebagai ilmu yang membahas soal ketuhanan dan kewajiban-kewajiban
manusia terhadap Tuhan, memakai akal dan wahyu dalam memperoleh pengetahuan
dalam soal tersebut. Akal, sebagai daya pikir yang ada dalam diri manusia,
berusah keras untuk sampai kepada diri Tuhan, dan wahyu sebagai pengkhabaran
dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang
Tuhan dan kewajiban kewajiban manusia kepada Tuhan.
Kalau kita selidiki buku-buku klasik tentang ilmu kalam akan kita jumpai
bahwa persoalan kekuasaan akal dan fungsi wahyu ini dihubungkan dengan dua
masalah pokok yang masing-masing bercabang dua. Masalah pertama ialah soal
mengenai mengetahi Tuhan dan masalah kedua mengenai baik dan jahat. Masalah
pertama bercabang menjadi dua yaitu mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui
Tuhan yang dalam istilah Arab disebut Husul ma’rifah Allah dan wujud
ma’rifah Allah. Kedua cabang dari masalah kedua ialah: mengetahui baik
dan jahat, dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan kewajiban menjauhi
perbuatan jahat atauma;rifah al-husn wa al-qubh dan wujub
i’tinaq al-hasan wa ijtinab al-qabih, yang juga disebut juga al-tahsin
w al-taqbih.
Polemik yang terjadi antara aliran-aliran teologi Islam yang bersangkutan
ialah: yang manakah di antara keempat masalah yang dapat diperoleh melalui akal
dan yang mana melalui wahyu? Masing-masing aliran memberi jawaban-jawaban yang
berlainan.
Menurut kaum Mu’tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan
perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang
mendalam. Dengan demikian berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu
adalah wajib, baik dan jahat wajib diketahui melalui akal dan demikian pula
mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat adalah pula wajib.
Dari aliran Asy’ariah, al-Asy’ari sendiri menolak sebagian besar pendapat
dari Mu’tazilah di atas. Dalam pendapatnya segala kewajiban manusia hanya dapat
diketahui melalui wahyu. Akal tidak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan
tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk
adalah wajib bagi manusia. Betul akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah
yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Juga
dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh
upah dan yang tidak patuh kepada-Nya akan mendapat hukuman.
Al-Maturidi, bertentangan dengan pendirian Asy’ariah tetapi sepaham dengan
Mu’tazilah, juga berpendapat bahwa akal dapat mengetahui kewajiban manusia
berterima kasih kepada Tuhan. Hal ini dapat diketahui dari keterangan
al-Bazdawi berikut:
” Percaya kepada Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya sebelum ada wahyu
adalah wajib dalam paham Mu’tazilah....al-Syaikh Abu Mansur al-Maturidi dalam
hal in sefaham dengan Mu’tazilah. Demikian jugalah umumnya ulam Samarkand dan
sebagian dari alaim ulama Irak.”
Dari golongan Maturudiah Bukhara berpendapat bahwa akal dapat sampai kepada
sebab kewajiban mengetahui Tuhan mengandung arti bahwa bagi mereka akal tidak
hanya sampai kepada pengetahuan adanya Tuhan, tetapi juga kepada sifat
terpujinya pengetahuan demikian. Untuk mengetahui diwajibkannya sesuatu
perbuatan seseorang harus terlebih dahulu mengetahui sifat terpujinya perbuatan
itu. Aliran ini lebih besar kepada akal dari pada Asy’ariah.
Dapat disimpulkan bahwa Mu’tazilah memberikan daya besar kepada akal.
Maturudiah samarkand memberikan daya kurang besar dari Mu’tazilah, tetapi lebih
besar daripada Maturudiah Bukhara. Di antara semua aliran itu, Asy’riahlah yang
memberikan daya terkecil kepada akal.
BAB 8
FUNGSI WAHYU
Pertanyaan
apa tentang perlunya wahyu tentu banyak dihadapka kepada kaum Mu’tazilah.
Sebagaimana telah disinggung di atas dalam system teologi mereka, wahyu tidak
mempunya fungsi apa-apa dalam soal keempat masalah yang menjadi bahan
kotroversi dalam teologi Islam.
Untuk
mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya, wahyu dalam pendapat Mu’tazilah tidak
mempuyai fungsi apa-apa, untuk mengetahui cara memuja dan menyembah Tuhan,
wahyu diperluakan. Akal betul dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada
Tuhan, tetapi wahyulah yang menerangkan kepada manusia cara yang tepat
menyembah Tuhan.
Bagi kaum
Mu’tazilah, tidak semua yang baik dan semua yang buruk dapat diketahui akal.
Untuk mengetahui itu, akal memerlukan pertolongan wahyu. Wahyu dengan demikian
menyempurnakan pengetahuan akal tentang baik dan buruk. Bukan hanya itu, bagi
kaum Mu’tazilah wahyu mempunyai fungsi memberi penjelasan tentang perincian
hukuman dan upah yang akan diterima manusia di akhirat. Kiranya dapat
disimpulkan bahwa wahyu bagi kaum Mu’tazilah mempunyai fungsi konfirmasi, dan informasi,
memperkuat apa-apa yang telah diketahui akal dan menerangkan apa-apa yang belum
dikethui akal, dan dengan demikian menyempurnakan pengetahuan yang telah
diperoleh akal.
Dalam
pandangan kaum Asy’ariah, karena akal hanya dapat mengetahui adanya Tuhan
saja, maka wahyu mempunyai kedudukan penting. Manusia mengetahui baik dan buruk
dan mengetahui kewajiban-kewajibannya hanya karena turunnya wahyu. Dengan
demikian jika sekiranya wahyu tidak ada, manusia tidak akan tahu
kewajiban-kewajibannya.
Adapun aliran
Maturidiah, wahyu bagi cabang Samarkand mempunyai fungsi yang lebih kurang
daripada wahyu dalam paham Bukhara. Wahyu bagi golongan pertama perlu hanya
untuk mengetahui kewajiban tentang baik dan buruk. Sedangkan dalam pendapat
golongan kedua, wahyu perlu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia.
Manusia
dalam aliran Mu’tazilah, dipandang berkuasa dan merdeka sedangkan manusia dalam
pandangan Asy’ariah dipandang lemah dan jauh kurang merdeka. Di dalam aliran
Maturidiah manusia mempunyai kedudukan menengah diantara manusia dalam
pandangan kaum Mu’tazilah dan kaum Asy’ariah. Dalam pada itu manusia dalam
pandangan cabang Samarkand lebih berkuasa dan merdeka daripada manusia dalam
pandangan cabang Bukhara.
BAB 9
FREE WILL DAN PREDESTINATION
Karena dalam
sistem teologi mereka manusia dipandang mempunyai daya yang besar lagi bebas,
sudah barang tentu kaum Mu’tazilah menganut paham qadariah dan free
will. Dan memang mereka disebut juga kaum Qadariah. Ada pula
keterangan-keterangan dan tulisan-tulisan para pemuka Mu’tazilah banyak
mengandung paham kebebasan dan berkuasanya manusia atas perbuatan-perbuatannya.
Sudah jelas
bahwa bagi kaum Mu’tazilah, daya manusialah dan bukan daya Tuhan yang
mewujudkan perbuatan manusia.
Sedangka
bagi kaum Asy’riah, di sini, karena manusia dipandang lemah, paham qadariah tidak
terdapat. Kaum Asy’riah dalam hal ini dekat dengan kaum Jabariah daripada
kepada kaum Mu’tazilah. Manusia dalam kelemahannya banyak bergantung kepada
kehendak dan kekuasaan Tuhan.
Ada
perbedaan persepsi diantara paham teologi Islam menegenai “kemuan dan daya
untuk berbuat.” Kaum Asy’riah berpenapat bahwa kemuan dan daya berbuat adalah
kemauan dan daya Tuhan dan perbuatan itu sendiri (perbuatan Tuhan bukan
perbuatan manusia). Sedangkan menurut paham al-maturidi menyebut daya yang
diciptakan, tetapi tidak ia jelaskan apakah daya itu daya manusia, sepeti
dijelaskan Mu’tazilah.
BAB 10
KEKUASAAN DAN KEHENDAK MUTLAK TUHAN
Sebagai
akibat dari perbedaan paham yang terdapat pada aliran-aliran teologi Islam
mengenai soal kekuatan akal, fungsi wahyu dan kebebasan serta kekuasaan manusia
atas kehendak dan perbuatannya, terdapat pula perbedaan paham tentang kekuasaan
dan kehenaak mutlak Tuhan.
Dalam
menjelasakan kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan ini, al- Asy’ari menulis
dalam Al-Ibanah bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapa pun, di
atas Tuhan tidak ada suatu zat lain yang dapat membuat hokum dan dapat
menentukan apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat. Tuhan
bersifat absolute dalam kehendak dan kekuasaan-Nya.
Berlainan
dengan paham Asy’ariah in, kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan
sebenarnya tidak bersifatmutlak lagi. Seperti terkandung dalam uraian Nadir,
kekuasaan mutlak Tuhan telah dibatasi oleh kebebasan yang menurut paham
Mu’tazilah, telah diberikan kepada manusia dalam menentuka kemauandan
perbuatan.
Adapun kaum
Maturidi, golongan Bukhara menganut pendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan
mutlak. Sedangkan dalam golongan Maturidi Samarkand, tidak sekeras golongan
Bukhara dalam mempertahankan kemutlakan kekuasaan Tuhan, tetapi tidak pula
memberikan batasan sebanyak batasan yang diberikan Mu’tazilah bagi kekuasaan
mutlak Tuhan.
BAB 11
KEADILAN TUHAN
Paham
keadilan Tuhan banyak tergantung pada paham kebebasan manusia dan paham
sebaliknya, yaitu kekuasaan mutlak Tuhan.
Kaum
Mu’tazilah karena percaya kepada kekuatan akal, dan kemerdekaan serta kebebasan
manusia, mempunya tendesi untuk meninjau wujud ini dari rasio dan kepentingan
manusia. Kemudain kaum Mu’tazilah berkeyakinan bahwa manusia diciptakan sebagai
makhluk tertinggi, dan oleh karena itu mereka mempunyai kecenderungan untuk
melihat segala-galanya dari sudut kepentingan manusia.
Kaum
Asy’ariah, karena percaya pada mutlaknya kekuasan Tuhan, mempunyai tendesi yang
sebaliknya. Mereka menolak paham Mu’tazilah bahwa Tuhan mempunyai tujuan dalam
perbuatan-perbuatan-Nya. Bagi mereka perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai
tujuan, tujuan yang berarti sebab yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu.
Dalam hal
ini, kaum Maturidiah golongan Bukhara mempunyai sikap yang sama dengan kaum
Asy’ariah. Sedangkan kaum Maturidiah golongan samarkand, karena menganut
paham free will dan free act,serta adanya batasan
bagi kekuasaan mutlak Tuhan, dalam hal ini posisi yang lebih dekat kepada kaum
Mu’tazilah daripada kaum Asy’ariah. Tetapi tendesi golongan ini untuk meninjau
wuju dari sudut kepentingan lebih kecil dari tendesi kaum Mu’tazilah.
BAB 12
PERBUATAN-PERBUATAN TUHAN
- Kewajiban-kewajiban Tuhan kepada manusia
Sebagaimana
dilihat dari uraian tentang kekuasaan mutlak dan keadilan Tuhan, kaum
Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap
manusia. Kewajiban itu dapat disimpulkan dalam satu kewajiban, yaitu kewajiban
berbuat baik dan terbaik bagi manusia.
Bagi kaum
Asy’ariah, paham Tuhan mempunyai kewajiban tidak dapat diterima, karena hal itu
bertentangan dengan paham kekuasan dan kehendak mutlak Tuhan yang mereka anut.
Sedangkan kaum Maturidiah golongan Bukhara sepaham dengan kaum Asy’ariah
tentang tiak adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan.
- Berbuat baik dan terbaik
Berbuat baik
dan terbaik bagi manusia dalam bahasa Arab disebutal-salah wa
al-aslah. Yang dimaksud di sini ialah kewajiban Tuhan berbuat baik
bahkan yang terbaik bagi manusia. Hal ini memang merupakan salah satu keyakinan
yang penting bagi kaum Mu’tazilah.
Bagi kaum
Asy’ariah beserta kedua dari golongan Maturidiah tidak sepaham dengan kaum
Mu’tazilah dalam hal ini.
- Beban di luar kemampuan manusia
Memberi
beban di luar kemampuan manusia adalah bertentangan dengan paham berbuat baik
dan terbaik. Oleh karena itu kaum Mu’tazilah tidak dapat menerima paham bahwa
Tuhan dapat memberikan kepada manusia beban yang tidak dapat dipikul.
Kaum
Asy’ariah karena percaya kepada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa
Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa, dapat menrima paham pemberian beban
yang di luar kemampuan manusia ini.
Kaum
Maturidiah golongan Bukhara sependapat dengan kaum Asy’ariah dalam soal
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Sedangkan dari golongan Samarkand mengambil
posisi yang dekat dengan kaum kaum Mu’tazilah.
- Pengiriman Rasul-rasul
Bagi kaum
Mu’tazilah pengiriman Rasul-rasul sebenarnya tidak begitu penting. Sebagaimana
telah dilihat dalam pembahasan-pembahasan tentang wahyu. Tapi bagi kaum
Asy’ariah, pengiriman rasul-rasul dalam teologi mereka mempunyai arti penting
menolak sifat wajibnyapengiriman demikain, karena hal itu bertentangan dengan
keyakinan mereka bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap
manusia.
Adapun
tentang pendapat golongan Bukhara sepaham dengan kaum Asy’ariah, sedangkan
golongan Samarkand sepaham dengan kaum Mu’tazilah.
- Janji dan ancaman
Bagi kaum
Mu’tazilah janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan. Sedangkan
bagi kaum Asy’ariah Tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan
menjalankan ancaman yang tersebut dalam al-Qur’an dan Hadits.
Kaum
Maturidiah golongan Bukhara dalam hal ini berpendapat bahwa “tidak mungkin
Tuhan melanggar janji-Nya untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik,
tetapi sebaliknya buka tidak mungkin Tuhan membatalkan ancaman untuk memberi
hukuman kepada orang yang jahat. Sedangkan golongan Samarkand dalam hal ini
mempunyai pendapat yang sama dengan kaum Mu’tazilah.
BAB 13
SIFAT-SIFAT TUHAN
Bagi kaum
Mu’tazilah, berpenapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, sedangkan kaum
Asy’ariah dan golongan Bukhara berpendapat dan mengakui bahwa Tuhan mempunyai
sifat.Golongan Samarkand dalam hal ini kelihatannya tidak sepaham dengan kaum
Mu’tazilah karena al-Maturidi mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan tetapi pula
tidak lain dari Tuhan.
Karena Tuhan
bersifat immateri, tidaklah dapat dikatakan bahwa Tuhan mepunyai sifat-sifat
jasmani. Kaum Mu’tazilah yang berpegang pada kekuatan akal, menganut paham ini.
Sedangkan bagi kaum Asy’ariah tidak menerima anthropomorphisme dalam arti bahwa
Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani yang sama dengan sifat-sifat jasmani
manusia.Dalam hal ini Maturidiah golongan Bukhara tidak sepaham dengan kaum
Asy’ariah.
Logika
mengatakan bahwa Tuhan, karena bersifat immateri, tidak dapat dilihat dengan
mata kepala. Sedangkan bagi kaum Asy’ariah, sebaliknya, berpendapat bahwa Tuhan
akan dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala di akhirat nanti.Kaum
Maturidiah dengan kedua golongannya sepaham dalam hal ini dengan kaum Asy’ariah.
Kaum
Mu’tazilah menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa sabda bukanlah
sifat tetapi perbuatan Tuhan. Sedangkan kaum Asy’ariah berpegang keras bahwa
sabda adalah sifat, dan sebagai sifat Tuhan mestilah kekal.Kaum Maturidiah
dengan kedua golongannya sependapat dengan kaum Asy’ariah bahwa sabda Tuhan
atau al-Qur’an adalah kekal.
BAB 14
KONSEP IMAN
Dalam
pandangan kaum Asy’ariah, dengan keyakinan mereka bahwa akal manusia tidak bisa
sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan, iman tidak bisa merupakan ma’rifah atau ‘amal.
Selanjutnya iman bagi kaum Asy’ariah adalah tasdiq, dan batasan
iman adalah al-tasdiq bi Allah (menerima sebagai kabar adanya
Tuhan). Sedangkan pandangan kaum AMu’tazilah iman bukanlah tasdiq,
dan ma’rifah.Tapi ‘amal yang timbul sebagai akibat
mengetahui dari Tuhan. Dan iman dalam arti mengetahui pin belumlah cukup.
Kaum
Maturudiah dari golongan Bukhara mempunyai paham yang sama dalam hal ini dengan
kaum Asy’ariah. Sedangkan menurut golongan Samarkand iman mestilah harus lebih
dari tasdiq, yaituma’rifah atau ‘amal.
3.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, mulai dari bab kesatu sampai bab keempat belas dapat
disimpulkan bahwa semua aliran teologi dalam Islam, baik dari golongan
Mu’tazilah, Asy’ariah, Maturidiah semuanya sama-sama menggunakan akal dalam
penyelesaian persoalan-persoalan teologi yang timbul dikalangan umat Islam.
Perbedaan yang terdapat diantara mereka adalah perbedaan dalam derajat kekuatan
yanag diberikan kepada akal. Kalau Mu’tazilah mempunyai pendapat bahwa akal mempunyai
daya yang kuat dan sebaliknya Asy’ariah berpendapat bahwa akal mempunyai daya
yang lemah.
Kesemuaaliran-aliran yang adaberpegangkepadawahyu.
Tapidalamhaliniperbedaan-perbedaan yang
terdapatdiantaraaliran-aliranituhanyalahperbedaandalaminterprestasimengenaiteksayat-ayat
al-Qur’an dan Hadits.
Halinitidakubahnyadenganadanyainterprestasimakalahirlahmazhab-mazhab yang
dikenalseperti yang dikenalsekarang, yaitumazhabHanafi, Syafi’i, Hambali dan
mazahbMaliki.
4.
SARAN DAN
KRITIK
Saran
·
Seharusnya buku
ini menceritakan penuh atau lengkap tentang aliran-aliran tersebut, baik dari
sejarah, tokoh, ajaran dan lain sebagainya.
·
Lebih bagus
penulis buku ini melengkapi aliran-aliran kecil yang yang belum tertulis dengan
lebih lengkap karena dilihat dari isi buku ini banyak menceriyakan aliran yang
besar.
Kritik
·
buku ini
terlalu banyak menceritakan kaum Mu’tazilah sedangkan aliran yang lain tidak
selengkap Mu’tazilah
·
kurang
lengkapnya keteranga-ketarangan aliran yang lain yang belum terungakap dalam
segi ajaran dan sejarahnya.
5.
MANFAAT BUKU
BAGI PEMBACA
Pembaca
pada umumnya dan juga saya dapat memandu diri kita sendiri dan orang lain untuk
hidup selamat dunia akhirat. Serta mengetahui pentingnya mempelajari Ilmu Kalam
dari berbagai konsep, sehingga dapat mengetahui bagaimana cara manusia
bertoleransi terhadapa manuisa sendiri lewat berbagai macam aliran yang ada di
Islam dari sejarahnya dan beberapa ulama ulama yang besar di bidang Ilmu Kalam
tersebut.Pada hakikatnya semua aliran tersebut,
tidaklahkeluardari Islam, tetapi tetap dalam Islam.Dengan demikian tiap orang
Islam bebas memilih salah satu dari aliran-aliran teologi tersebut, yaitu aliran
mana sesuai dengan jiwa dan pendapatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar