Sabtu, 28 Juni 2014

Media Massa Sebagai Sosialisasi Politik


Pendahuluan
Dalam ilmu politik dikenal dua macam pemahaman tentang demokrasi. Pertama, pemahaman demokrasi secara normatif. Kedua, pemaham demokrasi secara empirik. Dalam pemahaman normatif, demokrasi merupakan suatu kondisi yang secara ideal ingin diselenggarakan oleh suatu negara. Sedangkan dalam pemahaman empirik, demokrasi dikaitkan dengan kenyataan penerapan demokrasi dalam tataran kehidupan politik praktis.
Hubungan antara media dan politik sudah berlangsung lama, jauh sebelum ilmu politik menemukan jati dirinya sebagai ilmu yang berdiri sendiri dari fiksafat. Akan tetapi, politik sebagai disiplin ilmu baru diakui pada tahun 1880 setelah School of Political Sciene berdiri di Colombia Collage. Studi tentang pengaruh media terhadap aktivis politik baru menarik bagi ahli ilmu-ilmu social nanti dalam tahun 1930-an, terutama dalam hubungannya dengan pernyataan para negarawan dan pemimpin partai politik yang memengaruhi opini public. Kini media massa memainkan peranan yang sangat penting dalam proses politik, bahkan menurut Lichtenberg (1991) media telah menjadi actor utama dalam bidang politik. Ia memiliki kemampuan untuk membuat seseorang cemerlang dalam karier politiknya. Hal itu diakui oleh Robert W. McChesney dalam Thomas (2004) bahwa “in nearly all variants of social and political theory that media and communication system are cornerstones of modern societies. In political term, they serve to enhance democracy”.
Melalui media massa bisa diketahui aktivitas para politisi, tentang pikiran-pikirannya, pernyataan yang disampaikan, siapa yang menang dan siapa yang kalah, bagaimana strategi lawan, berapa uang ia habiskan selam kampanye, bagaimana tampan kandidat, apa yang ia janjikan kepada masyarakat dan sebagainya. Jelasnya, media berisi banyak informasi dan pendapat tentang politik. Oleh karena itu, orang yang banyak mengikuti media memiliki perhatian yang tinggi terhadap aktivitas politik. Mass media is the primary source of political information, seperti yang dikatakan Jackson and Beeck (1970).
Menurut McQuail (2000: 102) bahwa, “the mass media are largely responsible for what we call either mass culture or popular culture, and they have ‘colonized’ other cultural forms in the process” (media massa bertanggung jawab atau mempunyai peran besar terhadap apa yang disebut kebudayaan massa atau budaya populer, dan dalam prosesnya media massa telah ‘menjajah’ bentuk budaya lain). Sebagaimana dijelaskan oleh Lasswell (1972), bahwa “the study of politics is the study of influence and the influential” (ilmu tentang politk adalah ilmu tentang pengaruh dan kekuatan pengaruh). Tampilan media massa akan mengemban beberapa fungsi yang menggambarkan kedemokrasian dalam pemberitaannya. Fungsi-fungsi tersebut merupakan subsistem dari sistem politik yang ada.

Permasalahan
Dalam momentum demokrasi, peran media massa sangat vital. Berfungsi menjaga keseimbangan sebuah edentitas negara dan masyarakat. Sehingga menjadi pilar penting dalam tegaknya demokrasi. Selain itu media massa memiliki fungsi kontrol. Karena melalui transformasi informasi, media massa mampu berperan mengerem laju kebijakan pemerintah yg tidak memihak kepada kepentingan rakyat. Maka dari itu media massa sangat diperlukan dalam proses penyampaian komunikasi politik. 
Berbicara tentang komunikasi politik itu sendiri, komunikasi politik ialah proses penyampaian informasi politik dari pemerintah kepada masyarakat dan sebaliknya, dimana pemerintah membutuhkan informasi tentang kegiatan rakyatnya & sebaliknya rakyat juga harus mengetahui. Apa yg dikerjakan oleh pemerintahnya. 
Tidak dapat dipungkiri lagi pers merupakan salah satu alat demokratisasi yg cukup efektif. Pers menjadi jembatan yg menghubungkan kepentingan2 politik baik vertikal maupun horizontal. Pers menjadi bagian dari kehidupan politik untuk mempertemukan rakyat dan penguasa. Bahkan kebebasan pers sering menjadi salah satu ukuran apakah suatu negara telah menganut sistem domokrasi atau tidak
Tekanan ekonomi adalah salah satu pemicu terbesar terjadinya conflict of interest. Pada organisasi media setidaknya terdapat tiga pihak yang bisa mendatangkan tekanan ekonomi. Pihak-pihak itu antara lain pemangku modal yang menjadi nafas bagi kehidupan organisasi media. Contohnya : pemodal, pengiklan dan investor.
Efeknya adalah konten yang ditampilkan oleh media hanya konten yang secara ekonomi mendatangkan rating tinggi untuk menarik pengiklan sebanyak mungkin. Selain itu, konflik kepentingan juga bisa muncul akibat persaingan yang ketat dengan kompetitornya. Akhirnya, media itu terjebak pada dilema antara harus menghadirkan tayangan yang melayani kepentingan publik tapi kemungkinan besar rugi atau menayangkan tayangan yang popular demi meraih kapital yang besar untuk mampu bertahan hidup. Konflik kepentingan tersebut dapat menimbulkan pertanyaan mendasar berkaitan dengan fairness dan justice (keseimbangan dan keadilan).
Menurut Prof. Sasa Djuarsa Sendjaja, media dalam operasionalisasinya akan selalu menghadapi tekanan-tekanan internal (pemilik) dan eksternal (kepentingan politik, ekonomi, dan sosial). Media tidak saja powerful tapi juga powerless. Tekanan-tekanan ini akan mengakibatkan pemberitaan menjadi tidak obyektif. Akibatnya masyarakat disuguhi berita rekayasa seperti misalnya yang terjadi ketika pemilihan ketua umum Partai Golkar dengan berita yang disajikan di Metro TV dan Surat Kabar Media Indonesia.
Jadi kepemilikan media akan berakibat dengan berubahnya kebijakan dan tujuan media itu sendiri. Adanya konsentrasi media massa juga dapat mengakibatkan homogenitas pemberitaan dan informasi akibat dari diversifikasi media, yaitu proses penganekaragaman usaha ekonomi sosial yang dilakukan oleh suatu industri atau pelaku produksi media . Masyarakat akan sulit untuk mencari referensi lain dan sulit untuk melihat sisi lain dari suatu kasus yang diangkat oleh pemberitaan media massa karena homogenitas tersebut akibat kepemilikan yang berpusat.
Permintaan dari sang pemilik media memang tidak akan jauh dari aspek ekonomi. Aspek ekonomi muncul karena sang pemilik ingin modal yang telah ia keluarkan kembali dan mendapatkan margin keuntungan. Kemudian berikutnya untuk memaksimalkan keuntungan berarti mengorbankan objektivitas berita, lalu sumber-sumber berita yang akhirnya harus bertahan yang berdasarkan bias, sehubungan dengan berita di mana mereka memiliki konflik kepentingan.
Aspek lainnya yang menarik adalah bahwa media yang ia miliki digunakan untuk mendongkrak atau membela pemilik bila sang pemilik sedang diterpa isu. Hal ini dapat dengan mudah dilakukan oleh pemilik dengan meminta spot khusus dalam program medianya yang dapat menciptakan kesan yang positif dari diri sang pemilik.
Media memiliki kemampuan untuk mengatur mindset dalam  masyarakat, Media cenderung mengarahkan masyarakat memikirkan hal-hal yang tersaji dalam program acaranya, bukan apa yang sebenarnya terjadi di sekitar masyarakat itu sendiri. Jadi dengan mengunakan media massa, partai politik akan mudah dalam melakukan penggalangan public melalui berbagai iklan .
·         Perilaku memilih
Secara luas, media lebih cenderung menguatkan tujuan-tujuan yang ada dalam Pilkada. Seperti telah disinggung diawal bahwa peran utama media dalam suatu pemilihan umum ialah menfokuskan perhatian masyarakat pada kampanye yang sedang berlangsung serta berbagai informasi seputar kandidat dan isu politik lainnya. pada masyarakat.
Walaupun mungkin tidak memberi dampak langsung untuk merubah perolehan jumlah suara, namun media tetap mampu mempengaruhi banyaknya suara yang terjaring dalam suatu pemilu. Dengan adanya media polling terhadap calon eksekutif akan membentuk pemikiran Sehingga mindset dalam masyarakat adalah cenderung memilih siapa yang menjadi poling tertinggi dalam media massa.
·         Efek dalam sistem politik
Televisi telah merubah wajah seluruh sistem politik secara luas dengan pesat. Media ini tidak hanya mempengaruhi politik dengan fokus tayangan, kristalisasi atau menggoyang opini publik, namun secara luas berdampak pada para politisi yang memiliki otoritas dalam memutuskan kebijakan publik.
Media, dengan publisitas, pemasangan iklan dan ulasan beritanya, juga memiliki kemampuan yang kuat untuk secara langsung mempengaruhi meningkatnya jumlah dana dalam suatu kampanye politik. Begitu penting dan besarnya peran berita atau ulasan-ulasan media dalam suatu pemilihan umum, maka baik staf maupun kandidat politik sebenarnya telah menjadi media itu sendiri.
·         Kontrol Masyarakat
Begitu besar pengaruh dan peran media dalam perpolitikan, hendaknya dimanfaatkan secara bijaksana. Kontrol masyarakat untuk selalu melihat segala sesuatu dengan proposional, kritis dan obyektif. Hendaknya media juga mendorong masyarakat untuk melakukan critical control, sehingga terjalin kerjasama yang benar-benar secara positif membawa manfaat dan kontribusi bagi kedua belah pihak : pihak media massa dan terutama, pihak masyarakat.
Arti penting media massa dalam menyampaikan pesan politik kepada masyarakat menempatkannya sebagai sesuatu yang penting dalam interaksi politik. Partai politik membutuhkan media yang memfasilitasi komunikasi politik. Dengan kemampuannya dalam menyebarkan informasi secara luas membuat pesan politik disalurkan melalui media massa. Apalagi utama, dari komunikasi pesan, program kerja partai, pencitraan adalah pembentukan opini publik. Semakin besar massa yang dapat disentuh oleh media massa, semakin strategis arti media massa tersebut.
Partai politik jelas sangat membutuhkan media massa. Melalui merekalah pesan politik akan disalurkan. Secara implisit hal ini menganjurkan bahwa politik sebaiknya membangun hubungan jangka panjang dengan media massa. Antara keduanya terdapat hubungan yang saling membutuhkan. Media massa membutuhkan sumber informasi-dan barangkali juga sumber dana sementara partai politik membutuhkan media yang dapat membantu mereka dalam menyampaikan pesan politiknya. Bermusuhan dengan media massa adalah hal yang paling tragis, karena partai politik akan kehilangan mitra strategis yang dapat membantu mereka dalam komunikasi politik.
Pemilik media massa sebenarnya memiliki kemampuan untuk bisa bersaing di kancah perpolitikan di Indonesia. Kita tahu bahwa di Indonesia ada beberapa stasiun televisi yang pemiliknya berkecimpung di dunia politik. Metro TV yang dimiliki oleh Surya Paloh, di mana Surya Paloh saat ini berposisi sebagai ketua umum Partai Nasional Demokrat (NasDem), dan TVOne yang dimiliki oleh keluarga Bakrie, di mana Aburizal Bakrie juga sebagai ketua umum Partai Golongan Karya, merupakan dua stasiun televise berita terbesar di Indonesia. Tayangan berita yang disajikan oleh dua stasiun televise tersebut mampu mempengaruhi pola pikir masyarakat.     
Kebutuhan masyarakat akan informasi yang begitu besar membuat media massa dengan leluasa menyampaikan informasi. Ironisnya, berita yang ditayangkan oleh media massa seringkali diragukan keabsahannya, dan masyarakat menerima begitu saja apa yang disampaikan oleh media massa tanpa adanya filter terlebih  dahulu. Peluang inilah yang kemudian dijadikan sarana oleh pemiliki media yang berkecimpung di ranah politik untuk melakukan kampanye terselubung. Masih ingat di benak kita ketika Pemilu tahun 2004, media massa begitu gencar memberitakan siapa saja yang jadi calon Presiden dan Wakil Presiden, serta apa saja yang menjadi visi dan misi mereka.
Politik pencitraan yang dilakukan oleh beberapa calon Presiden dan Wakil Presiden melalui media massa ternyata begitu efektif untuk mendapatkan dukungan suara dari rakyat. Terbukti dengan terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan wakil presiden Republik Indonesia periode 2004-2009. Pada pemilu 2009 pun politik pencitraan terbukti efektif untuk dilakukan lagi, dan SBY terpilih untuk periode kedua yaitu 2009-2014. Ringkasnya, televisi tetap digunakan secara luas sebagai saluran komunikasi kampanye. (Nimmo, 2000 : 199).
Fenomena tersebut tidak terlepas dari hegemoni yang dilakukan oleh media massa. Tayangan media yang disajikan secara terus menerus telah mampu mengkonstruksi pola pikir masyarakat terhadap setiap fenomena yang terjadi. Stigma yang terbentuk di masyarakat terhadap pemberitaan yang dilakukan oleh media massa adalah stigma positif. Sehingga, masyarakat percaya begitu saja apa yang dikatakan oleh media massa. Walaupun saat ini masyarakat sudah mulai memiliki pemikiran yang cerdas dan pengaruh yang diberikan oleh media mulai menurun, tetapi hegemoni tersebut tidak serta merta hilang begitu saja. Aspek inilah yang kemudian dijadikan sebagai landasan bagi pemilik media untuk melakukan kampanye menuju Pemilu 2014.
Media massa memang memiliki kekuatan untuk membentuk opini public. Teori Agenda Setting merupakan sebuah teori yang masuk kategori Applied Theory, sehingga bisa kita lihat dari apa yang terjadi di media massa saat ini. Kekuasaan media dalam menentukan agenda masyarakat bergantung pada hubungan mereka dengan pusat kekuasaan. (Littlejohn, 2009 : 418). Kekuasaan inilah yang menjadi tujuan dari para pemilik media. Televisi seperti TVOne misalnya, begitu sering menyajikan berita-berita yang notebene lebih menunjukkan citra sang pemilik dan calon presiden yang berkoalisi dengan sang pemiliknya.

DAFTAR PUSTAKA
Ardiyanto, Elvinaro. 2007. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung. Simbiosa Rekatama Media.
Cangara, Hafied. 2009. Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi. Jakarta: Rajawali Pers
Fasta, Feni. 2007. “Kontestasi Antara Kepemilikan Silang Dengan Isi Pemberitaan Media Massa”, jurnal penelitian komunikasi departemen ilmu komunikasi FISIP UI, volume VI/ no. 1, hlm.19-41,
Burhan Bungin, 2011, Kontruksi Sosial Media Massa; Kekuatan pengaruh Media Massa, Iklan Telvisi, dan KeputusanKonsumen Serta Kritik TerPeter I Berger & Thomas Luckman.  Jakarta; Kencana
Ramlan Subakti. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta; Pt. Grasindo, Anggota IKAPI,
William I Rivers, et. Al. 2008. Media Massa dan Masyarakat Modern. Jakarta; Kencana,


Tidak ada komentar:

Posting Komentar