Pendahuluan
Dalam ilmu politik dikenal dua macam pemahaman tentang
demokrasi. Pertama,
pemahaman demokrasi secara normatif. Kedua,
pemaham demokrasi secara empirik. Dalam pemahaman normatif, demokrasi merupakan
suatu kondisi yang secara ideal ingin diselenggarakan oleh suatu negara.
Sedangkan dalam pemahaman empirik, demokrasi dikaitkan dengan kenyataan
penerapan demokrasi dalam tataran kehidupan politik praktis.
Hubungan antara media dan politik sudah berlangsung lama,
jauh sebelum ilmu politik menemukan jati dirinya sebagai ilmu yang berdiri
sendiri dari fiksafat. Akan tetapi, politik sebagai disiplin ilmu baru diakui
pada tahun 1880 setelah School of
Political Sciene berdiri di Colombia Collage. Studi tentang pengaruh media
terhadap aktivis politik baru menarik bagi ahli ilmu-ilmu social nanti dalam
tahun 1930-an, terutama dalam hubungannya dengan pernyataan para negarawan dan
pemimpin partai politik yang memengaruhi opini public. Kini media massa
memainkan peranan yang sangat penting dalam proses politik, bahkan menurut
Lichtenberg (1991) media telah menjadi actor utama dalam bidang politik. Ia
memiliki kemampuan untuk membuat seseorang cemerlang dalam karier politiknya.
Hal itu diakui oleh Robert W. McChesney dalam Thomas (2004) bahwa “in nearly all variants of social and
political theory that media and communication system are cornerstones of modern
societies. In political term, they serve to enhance democracy”.
Melalui media massa bisa diketahui aktivitas para politisi,
tentang pikiran-pikirannya, pernyataan yang disampaikan, siapa yang menang dan
siapa yang kalah, bagaimana strategi lawan, berapa uang ia habiskan selam
kampanye, bagaimana tampan kandidat, apa yang ia janjikan kepada masyarakat dan
sebagainya. Jelasnya, media berisi banyak informasi dan pendapat tentang
politik. Oleh karena itu, orang yang banyak mengikuti media memiliki perhatian
yang tinggi terhadap aktivitas politik. Mass
media is the primary source of political information, seperti yang
dikatakan Jackson and Beeck (1970).
Menurut
McQuail (2000: 102) bahwa, “the mass
media are largely responsible for what we call either mass culture or popular
culture, and they have ‘colonized’ other cultural forms in the process”
(media massa bertanggung jawab atau mempunyai peran besar terhadap apa yang
disebut kebudayaan massa atau budaya populer, dan dalam prosesnya media massa
telah ‘menjajah’ bentuk budaya lain). Sebagaimana dijelaskan oleh Lasswell
(1972), bahwa “the study of politics is the study of influence and the
influential” (ilmu tentang politk adalah ilmu tentang pengaruh dan
kekuatan pengaruh). Tampilan media massa akan mengemban beberapa fungsi yang
menggambarkan kedemokrasian dalam pemberitaannya. Fungsi-fungsi tersebut
merupakan subsistem dari sistem politik yang ada.
Permasalahan
Dalam momentum demokrasi, peran media massa sangat vital.
Berfungsi menjaga keseimbangan sebuah edentitas negara dan masyarakat. Sehingga
menjadi pilar penting dalam tegaknya demokrasi. Selain itu media massa memiliki
fungsi kontrol. Karena melalui transformasi informasi, media massa mampu
berperan mengerem laju kebijakan pemerintah yg tidak memihak kepada kepentingan
rakyat. Maka dari itu media massa sangat diperlukan dalam proses penyampaian
komunikasi politik.
Berbicara tentang komunikasi politik itu sendiri,
komunikasi politik ialah proses penyampaian informasi politik dari pemerintah
kepada masyarakat dan sebaliknya, dimana pemerintah membutuhkan informasi
tentang kegiatan rakyatnya & sebaliknya rakyat juga harus mengetahui. Apa
yg dikerjakan oleh pemerintahnya.
Tidak dapat dipungkiri lagi pers merupakan salah satu alat
demokratisasi yg cukup efektif. Pers menjadi jembatan yg menghubungkan kepentingan2
politik baik vertikal maupun horizontal. Pers menjadi bagian dari kehidupan
politik untuk mempertemukan rakyat dan penguasa. Bahkan kebebasan pers sering
menjadi salah satu ukuran apakah suatu negara telah menganut sistem domokrasi
atau tidak
Tekanan ekonomi adalah salah satu pemicu terbesar
terjadinya conflict of interest. Pada organisasi media setidaknya terdapat tiga
pihak yang bisa mendatangkan tekanan ekonomi. Pihak-pihak itu antara lain
pemangku modal yang menjadi nafas bagi kehidupan organisasi media. Contohnya :
pemodal, pengiklan dan investor.
Efeknya adalah konten yang ditampilkan oleh media hanya
konten yang secara ekonomi mendatangkan rating tinggi untuk menarik pengiklan
sebanyak mungkin. Selain itu, konflik kepentingan juga bisa muncul akibat
persaingan yang ketat dengan kompetitornya. Akhirnya, media itu terjebak pada
dilema antara harus menghadirkan tayangan yang melayani kepentingan publik tapi
kemungkinan besar rugi atau menayangkan tayangan yang popular demi meraih
kapital yang besar untuk mampu bertahan hidup. Konflik kepentingan tersebut
dapat menimbulkan pertanyaan mendasar berkaitan dengan fairness dan justice
(keseimbangan dan keadilan).
Menurut Prof. Sasa Djuarsa Sendjaja, media dalam
operasionalisasinya akan selalu menghadapi tekanan-tekanan internal (pemilik)
dan eksternal (kepentingan politik, ekonomi, dan sosial). Media tidak saja
powerful tapi juga powerless. Tekanan-tekanan ini akan mengakibatkan
pemberitaan menjadi tidak obyektif. Akibatnya masyarakat disuguhi berita
rekayasa seperti misalnya yang terjadi ketika pemilihan ketua umum Partai
Golkar dengan berita yang disajikan di Metro TV dan Surat Kabar Media
Indonesia.
Jadi kepemilikan media akan berakibat dengan berubahnya
kebijakan dan tujuan media itu sendiri. Adanya konsentrasi media massa juga
dapat mengakibatkan homogenitas pemberitaan dan informasi akibat dari
diversifikasi media, yaitu proses penganekaragaman usaha ekonomi sosial yang
dilakukan oleh suatu industri atau pelaku produksi media . Masyarakat akan sulit
untuk mencari referensi lain dan sulit untuk melihat sisi lain dari suatu kasus
yang diangkat oleh pemberitaan media massa karena homogenitas tersebut akibat
kepemilikan yang berpusat.
Permintaan dari sang pemilik media memang tidak akan jauh
dari aspek ekonomi. Aspek ekonomi muncul karena sang pemilik ingin modal yang
telah ia keluarkan kembali dan mendapatkan margin keuntungan. Kemudian
berikutnya untuk memaksimalkan keuntungan berarti mengorbankan objektivitas
berita, lalu sumber-sumber berita yang akhirnya harus bertahan yang berdasarkan
bias, sehubungan dengan berita di mana mereka memiliki konflik kepentingan.
Aspek lainnya yang menarik adalah bahwa media yang ia
miliki digunakan untuk mendongkrak atau membela pemilik bila sang pemilik
sedang diterpa isu. Hal ini dapat dengan mudah dilakukan oleh pemilik dengan
meminta spot khusus dalam program medianya yang dapat menciptakan kesan yang
positif dari diri sang pemilik.
Media memiliki kemampuan untuk mengatur mindset dalam masyarakat, Media cenderung mengarahkan
masyarakat memikirkan hal-hal yang tersaji dalam program acaranya, bukan apa
yang sebenarnya terjadi di sekitar masyarakat itu sendiri. Jadi dengan
mengunakan media massa, partai politik akan mudah dalam melakukan penggalangan
public melalui berbagai iklan .
·
Perilaku memilih
Secara luas, media lebih
cenderung menguatkan tujuan-tujuan yang ada dalam Pilkada. Seperti telah
disinggung diawal bahwa peran utama media dalam suatu pemilihan umum ialah
menfokuskan perhatian masyarakat pada kampanye yang sedang berlangsung serta
berbagai informasi seputar kandidat dan isu politik lainnya. pada masyarakat.
Walaupun mungkin tidak memberi
dampak langsung untuk merubah perolehan jumlah suara, namun media tetap mampu
mempengaruhi banyaknya suara yang terjaring dalam suatu pemilu. Dengan adanya
media polling terhadap calon eksekutif akan membentuk pemikiran Sehingga
mindset dalam masyarakat adalah cenderung memilih siapa yang menjadi poling
tertinggi dalam media massa.
·
Efek dalam sistem
politik
Televisi telah merubah wajah
seluruh sistem politik secara luas dengan pesat. Media ini tidak hanya
mempengaruhi politik dengan fokus tayangan, kristalisasi atau menggoyang opini
publik, namun secara luas berdampak pada para politisi yang memiliki otoritas
dalam memutuskan kebijakan publik.
Media, dengan publisitas,
pemasangan iklan dan ulasan beritanya, juga memiliki kemampuan yang kuat untuk
secara langsung mempengaruhi meningkatnya jumlah dana dalam suatu kampanye
politik. Begitu penting dan besarnya peran berita atau ulasan-ulasan media
dalam suatu pemilihan umum, maka baik staf maupun kandidat politik sebenarnya
telah menjadi media itu sendiri.
·
Kontrol Masyarakat
Begitu besar pengaruh dan peran
media dalam perpolitikan, hendaknya dimanfaatkan secara bijaksana. Kontrol
masyarakat untuk selalu melihat segala sesuatu dengan proposional, kritis dan
obyektif. Hendaknya media juga mendorong masyarakat untuk melakukan critical
control, sehingga terjalin kerjasama yang benar-benar secara positif membawa
manfaat dan kontribusi bagi kedua belah pihak : pihak media massa dan terutama,
pihak masyarakat.
Arti
penting media massa dalam menyampaikan pesan politik kepada masyarakat
menempatkannya sebagai sesuatu yang penting dalam interaksi politik. Partai
politik membutuhkan media yang memfasilitasi komunikasi politik. Dengan
kemampuannya dalam menyebarkan informasi secara luas membuat pesan politik
disalurkan melalui media massa. Apalagi utama, dari komunikasi pesan, program
kerja partai, pencitraan adalah pembentukan opini publik. Semakin besar massa
yang dapat disentuh oleh media massa, semakin strategis arti media massa
tersebut.
Partai
politik jelas sangat membutuhkan media massa. Melalui merekalah pesan politik
akan disalurkan. Secara implisit hal ini menganjurkan bahwa politik sebaiknya
membangun hubungan jangka panjang dengan media massa. Antara keduanya terdapat
hubungan yang saling membutuhkan. Media massa membutuhkan sumber informasi-dan
barangkali juga sumber dana sementara partai politik membutuhkan media yang
dapat membantu mereka dalam menyampaikan pesan politiknya. Bermusuhan dengan
media massa adalah hal yang paling tragis, karena partai politik akan
kehilangan mitra strategis yang dapat membantu mereka dalam komunikasi politik.
Pemilik
media massa sebenarnya memiliki kemampuan untuk bisa bersaing di kancah
perpolitikan di Indonesia. Kita tahu bahwa di Indonesia ada beberapa stasiun
televisi yang pemiliknya berkecimpung di dunia politik. Metro TV yang dimiliki
oleh Surya Paloh, di mana Surya Paloh saat ini berposisi sebagai ketua umum
Partai Nasional Demokrat (NasDem), dan TVOne yang dimiliki oleh keluarga
Bakrie, di mana Aburizal Bakrie juga sebagai ketua umum Partai Golongan Karya,
merupakan dua stasiun televise berita terbesar di Indonesia. Tayangan berita
yang disajikan oleh dua stasiun televise tersebut mampu mempengaruhi pola pikir
masyarakat.
Kebutuhan
masyarakat akan informasi yang begitu besar membuat media massa dengan leluasa
menyampaikan informasi. Ironisnya, berita yang ditayangkan oleh media massa
seringkali diragukan keabsahannya, dan masyarakat menerima begitu saja apa yang
disampaikan oleh media massa tanpa adanya filter terlebih dahulu. Peluang inilah yang kemudian
dijadikan sarana oleh pemiliki media yang berkecimpung di ranah politik untuk
melakukan kampanye terselubung. Masih ingat di benak kita ketika Pemilu tahun
2004, media massa begitu gencar memberitakan siapa saja yang jadi calon
Presiden dan Wakil Presiden, serta apa saja yang menjadi visi dan misi mereka.
Politik
pencitraan yang dilakukan oleh beberapa calon Presiden dan Wakil Presiden
melalui media massa ternyata begitu efektif untuk mendapatkan dukungan suara
dari rakyat. Terbukti dengan terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf
Kalla sebagai Presiden dan wakil presiden Republik Indonesia periode 2004-2009.
Pada pemilu 2009 pun politik pencitraan terbukti efektif untuk dilakukan lagi,
dan SBY terpilih untuk periode kedua yaitu 2009-2014. Ringkasnya, televisi
tetap digunakan secara luas sebagai saluran komunikasi kampanye. (Nimmo, 2000 :
199).
Fenomena
tersebut tidak terlepas dari hegemoni yang dilakukan oleh media massa. Tayangan
media yang disajikan secara terus menerus telah mampu mengkonstruksi pola pikir
masyarakat terhadap setiap fenomena yang terjadi. Stigma yang terbentuk di
masyarakat terhadap pemberitaan yang dilakukan oleh media massa adalah stigma
positif. Sehingga, masyarakat percaya begitu saja apa yang dikatakan oleh media
massa. Walaupun saat ini masyarakat sudah mulai memiliki pemikiran yang cerdas
dan pengaruh yang diberikan oleh media mulai menurun, tetapi hegemoni tersebut
tidak serta merta hilang begitu saja. Aspek inilah yang kemudian dijadikan
sebagai landasan bagi pemilik media untuk melakukan kampanye menuju Pemilu
2014.
Media
massa memang memiliki kekuatan untuk membentuk opini public. Teori Agenda Setting
merupakan sebuah teori yang masuk kategori Applied Theory, sehingga bisa kita
lihat dari apa yang terjadi di media massa saat ini. Kekuasaan media dalam
menentukan agenda masyarakat bergantung pada hubungan mereka dengan pusat
kekuasaan. (Littlejohn, 2009 : 418). Kekuasaan inilah yang menjadi tujuan dari
para pemilik media. Televisi seperti TVOne misalnya, begitu sering menyajikan
berita-berita yang notebene lebih menunjukkan citra sang pemilik dan calon
presiden yang berkoalisi dengan sang pemiliknya.
DAFTAR PUSTAKA
Ardiyanto,
Elvinaro. 2007. Komunikasi Massa Suatu
Pengantar. Bandung. Simbiosa Rekatama Media.
Cangara,
Hafied. 2009. Komunikasi Politik: Konsep,
Teori, dan Strategi. Jakarta: Rajawali Pers
Fasta,
Feni. 2007. “Kontestasi Antara Kepemilikan
Silang Dengan Isi Pemberitaan Media Massa”, jurnal penelitian komunikasi
departemen ilmu komunikasi FISIP UI, volume VI/ no. 1, hlm.19-41,
Burhan
Bungin, 2011, Kontruksi Sosial Media
Massa; Kekuatan pengaruh Media Massa, Iklan Telvisi, dan KeputusanKonsumen
Serta Kritik TerPeter I Berger & Thomas Luckman. Jakarta; Kencana
Ramlan
Subakti. 1992. Memahami Ilmu Politik.
Jakarta; Pt. Grasindo, Anggota IKAPI,
William
I Rivers, et. Al. 2008. Media Massa dan
Masyarakat Modern. Jakarta; Kencana,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar