Selasa, 26 Agustus 2014

Rp 176.000,- Ongkos ke Gunung Papandayan 2622 Mdpl

Awal dari sebuah kebosanan yang menghadirkan kami disebuah tempat tongkrongan. Cerita demi cerita dari setiap kawan muncul, sebuah ide muncul ketika kami mendapat cerita tentang mendaki. Ketertarikan itu memicu kawan-kawan, sebuah tongkrongan yang kami beri nama LBH (Lelaki Baja Hitam), yang memiliki aktivitas rutin futsal setiap Jum’at malam.
Singkat cerita, akhirnya kami satu tongkrongan yang berisikan lebih dari 15 manusia ganteng, memutustak yang ingin mengikuti trip ke gunung papadayan hanyalah 6 orang, diantaranya adalah Sulton, Amrih, Topas, Aldi dan sikembar (Ikhsan&Hafidz). Rencan kepergian kami untuk menikmati keindahan alam Jawa Barat sudah terencana dari sebelum bulan Ramadhan 1435 H/ sekitar bulan juni (lama bingiiitttss). Dari sini kami menyiapkan alat-alat ataupun logistik yang akan dibawa nantinya, maklum lah dari beberapa tim kami baru pertama kali mendaki, jadi agak di persiapkan secara matang-matang.
Disingkat ceritanya, Kamis, 21 Agustus 2014, pukul 20.10 WIB kami siap berangkat dari Pamulang, Tangerang Selatan, saat itu si kembar belum juga tiba ketempat kita berkumpul, yang dijadwalkan sebelumnya, jam 20.00 Wib kita sudah berada di Pol Primajasa di daerah Gaplek Pamulang. Tetapi karena si kembar ngaret maka dari itu kami harus menunggu hingga pukul 20.38 Wib. Kalau dilihat dari jadwal keberangkatan bis Primajasa di pol nya, seharusnya sudah tidak ada keberangkatan lagi karena pukul 21.00 wib adalah jadwal terakhir keberangkatan bis. Ada lagi pukul 05.00wib, setelah subuh baru ada lagi.
Dari depan komplek kami yang biasa disebut dengan daerah ‘Portal’ kami naik angkot jurusan Ciputat, dengan ongkos sebesar Rp 3.000,- /orang. Sebelum sampai pasar Ciputat ada namanya pasar Cimanggis, disini kami sambung angkot jurusan Ciputat- Parung, dengan ongkos Rp 3.000,-/ orang.  Sesampainya di pol Primajasa, ternyata memang sudah tidak ada lagi, kami di sarankan untuk naik bis primajasa jurusan Lebak Bulus – Tasikmalaya, lalu turun di tol Cileunyi lalu sambung lagi menggunakan bis jurusan Termnal Guntur. Tawar menawar kami lakukan, akhirnya bis Primajasa Jurusan Lebak Bulus – Garut di berangkatkan juga. Perjalanan kami dimulai dengan kesan yang berarti bagi saya, sebelumnya sih saya belum pernah tawar menawar macam seperti ini. Pukul 21.30 Wib bis Primajasa berangkat dari pol, dengan membayar ongkos sebesar Rp 42.000,-/ orang sampai Terminal Guntur.
Jum’at, 22 Agustus 2014, 02.15 Wib, tiba lah kami di terminal Guntur, kami disambut dengan dinginnya Kota Garut pada waktu itu. Saat tiba di Terminal Guntur, perut kami yang agak ‘karet’ ini mulai mengeluarkan nada-nada kelaparan. Alhamdulillahnya masih ada kios ayam goreng kakilima yang masih buka, satu porsi sekitar Rp 13.000,- dengan menu Nasi Putih, Ayam Goreng, lalapan dan Sambel (sambelnya pedeees bingiits coy). Kita memutuskan untuk makannya di daerah Cisurupan, pintu masuk ke Gunung Papadanyan. Dari Terminal Guntur ke Cisurupan kami naik angkot sekitar Rp 15.000,-/orang dengan jarak tempuh waktu sekitar 35menit.
Setibanya kami di Cisurupan, kami membuka bekel dari terminal Guntur tadi, setelah kenyang, kami lanjut untuk ke BaseCamp David. Untuk menuju Camp David kami harus naik mobil Pick Up/ bak terbuka sebesar Rp 20.000,-/orang. Tanjakan demi tanjakan kita lalui, jalan yang agak Off Road ini membuat kami tidak nyaman, karena kami kan duduk di atas besi, kan mobilnya bukan mobil Off Road tapi mobil bak terbuka, kebayang dong gimana rasanya -_-‘’ tapi langit Garut memberikan keindahannya, taburan Bintan dan Senyuman Bulan Sabit menghiasi langit saat itu. Rasa tidak nyaman diatas mobil Pick Up, terhapus karena keindahan langit dipagi buta saat itu.
Setibanya di pos pendaftaran, kami mendaftarkan Tim dengan biaya Rp 5.000,-/orang.  Harganya naik, tahun 2013 pas saya ke Gunung Papandayan, masih Rp 2.000,-/orang, yaudah gapapa Intermezo dikit lah yah. Hehehe. Lanjut lagi nih, setelah itu kami istirahat sejenak dan melakukan Shalat Subuh, dingin banget pas abis Wudhu hehehe. Ngopi-ngopi unyu sudah, tepat pukul 06.00 wib, kami mulai mendaki. Sesampainya di Kawah Papadayan sekitar 06.30 wib. Foto-foto dulu lah, selfie-selfie an dikit. Setelah foto-foto sekalian istirahat sebentar, lalu lanjut mendaki kembali. Sesampainya di jalur pipa biru atau menuju Lawang Angin kami sempat beristirahat sebentar, sekitar pukul 08.30wib kami masak-masak mie instan dulu, isi tenaga sedikit. Tepat pukul 10.00 wib kami melanjutkan perjalanan, bertemu dengan  pendaki yang lainnya. Saat menuju lawang angin, kita bertemu 3 orang cewe yang lagi neduh, kita mikirnya mereka itu Cuma iseng aja mau neduh, pas ditanya eh katanya abis di kejar anjing/serigala warna hitam. Wadoooow neng ada-ada aja deh. Mereka Nekat Traveller bukan Neked Traveller, mereka cerita gak ada persiapan apa-apa untuk ke Papandayan, dan mereka pernah dadakan juga pergi kepulau Pari yang Cuma modal Uang aja. Saat ke Papandayan juga begitu, Cuma pake flat shoes nih para cewe, sangar juga nih. sampai lah di Pos II untuk laporan, dengan membayar seikhlasnya.
  Jalur Kawah Papandayan




POS II


Ke tiga cewe itu ikut bersama kami sampai Pondok Saladah pukul 11.10 Wib. Kami buka tenda dan nyuguhin sedikit makanan yang kita punya buat para cewe-cewe ini. Setelah tenda berdiri, para cewe-cewe ini lanjut untuk pulang dengan penuh nekatnya (bukan sembarang cewe nih cewe). Ya kalo kita sih mau Have Fun  disini, tidak dikejar waktu. Hehehe. Lanjut ke kisah perjalanan kami yang menyenangkan, setelah makan dan berberes tenda, kita istirahat bobo unyu.

Edelweiss Pondok Saladah
(Di Pegang Boleh, Di Bawa Pulang Gak Boleh)

Malam pun tiba, dingin pun menghampiri dibalik tebalnya kabut Pondok Salada pukul 19.30 wib. Terdengar dari bukit menuju Tegal Alun, teriakan orang meminta tolong, dan saya sih kepo ada apa gerangan disana, ternyata oh ternyata seiiring kabar burung katanya ada yang tersesat dijalur menuju Tegal Alun, kami tidak bisa berbuat apa-apa, tapi ada pendaki lain yang berusaha untuk menolongnya. Kami berfikir, kami belum begitu banyak tentang pendakian, kalo kami sok tau nyari orang, orang yang dicari sudah selamat, malah kami yang dicari. Jadi kami serahkan kepada yang berpengalaman atau serahkan kepada Ranger setempat. Hehehe.
Ke esokan harinya 23/08/2014, kami menuju Hutan Mati Papandayan, pukul 08.00 wib setelah sarapan agar-agar kita langsung mau menikmati keindahan Hutan Mati. Pukul 08.35 wib kami tiba disana. Berfoto ria yang hanya kami lakukan (masa mau coret-coret dibatu, kaya alay dong hahaha). Selanjutnya kami turun ke tenda kami. Sempat kaget pukul 11.00 wib Pondok Saladah sudah disulap menjadi perkampungan pendaki. Penuh bingiiitsss, dan ada yang lagi ngerayain Anniversary bengkel motor terkemuka. Penuh deh jadinya. Saat ditenda, yang awalnya sebelah Timur (kiri) tenda kami tidak ada tenda pendaki lain, eh saat itu sudah ada. Dan berkenalan kami, ternyata oh ternyata, berasal dari Pamulang juga (dunia sempit vrooohhh!!)



 Hutan Mati

 Hutan Mati


Minggu 24 Agustus 2014, pukul 08.00 wib, setelah sarapan dan beres-beres alat masak, kami bersiap-siap untuk pulang kerumah. Operasi semut kami lakukan untuk menjaga kebersihan disana, kantong sampah kami bawa turun (ini penting bingits vrooh). Pukul 11.00 wib kita sudah bergegas untuk turun. Setelah melapor di Pos II kami langsung turun ke Camp David. Saat di Kawah Papandayan kami berfoto-foto ria. Hehehe.
Pukul 13.45 Wib, istirahat sejenak di Camp David sembari membeli sovenir Gunung Papadayan, kami disibukan menawar mobil Pick Up untuk turun ke desa Cisurupan. Langsung deh tancap gas untuk ke Cisurupan. 14.35 wib kami langsung naik angkot ke terminal, saat perjalanan menuju Terminal Guntur, terjadi insiden, tas-tas kami jatuh karena kurang rapih dan kuatnnya tali yang mengikat tas-tas kami. Sedikit saran aja, saat tas di ikat diatas angkot, harap di Check kembali, sudah kuat dan rapih belum tali yang mengikat tas-tas yang dibawa. Resikonya bisa fatal, pertama; bisa nyelakain kendaraan roda dua yang ada di belakang angkot kita atau kendaraan yang ada dibelakang angkot kita. Kedua; bisa ilang atau rusak barang-barang yang ada didalam tas. Harap di perhatikan yah.
15.30 wib, setibanya di Terminal Guntur, kami bergegas untuk membersihkan diri di WC umum depan terminal. Bersih kok kamar mandinya, dengan membayar Rp 3.000,- kita kembali kece lagi. Hehehe. Setelah bersih-bersih badan kami menyempatkan diri untuk makan dulu. Setelah itu pukul 17.00 wib kami bergegas menuju bis tujuan Lebak Bulus. Daaaaan satu bis penumpangnya pendaki semua, ini bis di sewa yah buat para pendaki. Hahaha.
Pukul 22.45 wib kami tiba di pol Primajasa, dan kami bergegas untuk pulang kerumah masing-masing. Canda tawa kami selama 4 hari bersama mengukir indahnya persahabatan kami. Terima kasih Alam, Terima Kasih Allah SWT yang memberikan keindahan di muka bumi ini, memberikan keindahan di Negeri ini. Alhamdulillah kami masih diberikan kesempatan untuk menikmati kebesaran ciptaan-Mu ya Rabb.
Sekian dari perjalanan kami menuju Gunung Papandayan 2622 Mdpl, Garut, Jawa Barat. Nantikan cerita Trip kami selanjutnya.



Rabu, 02 Juli 2014

Hukum Menikah dalam Keadaan Hamil


Oleh: Al-Ustâdz Abû Muhammad Dzulqarnain
1. Bagaimanakah hukumnya pernikahan yang dilaksanakan ketika wanita yang dinikahi dalam keadaan hamil?
2. Bila sudah terlanjur menikah, apakah yang harus dilakukan? Apakah harus cerai dulu, kemudian menikah lagi atau langsung menikah lagi tanpa harus bercerai terlebih dahulu?
3. Dalam hal ini apakah masih diperlukan mas kawin (mahar)?
Kami jawab -dengan meminta pertolongan dari Allah Al-’Alim Al-Hakim sebagai berikut:
1. Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam:
Satu: Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil.
Dua: Perempuan yang hamil karena melakukan zina sebagaimana yang banyak terjadi di zaman ini -wal ‘iyadzu billah- mudah-mudahan Allah menjaga kita dan seluruh kaum muslimin dari dosa terkutuk ini.
Adapun perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya, tidak boleh dinikahi sampai lepas‘iddah[1]nya. Dan ‘iddah-nya ialah sampai ia melahirkan sebagaimana dalam firman AllahSubhanahu wa Ta’ala:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Tholaq: 4)
Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:
وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ
“Dan janganlah kalian ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis ‘iddahnya.”(QS. Al-Baqarah: 235)
Berkata Ibnu Katsir dalam tafsir-nya tentang makna ayat ini: “Yaitu jangan kalian melakukan akad nikah sampai lepas ‘iddah-nya.” Kemudian beliau berkata: “Dan para ‘ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa ‘iddah.”
Lihat: Al-Mughny 11/227, Takmilah Al-Majmu’ 17/347-348, Al-Muhalla 10/263 dan Zadul Ma’ad 5/156.
Adapun perempuan hamil karena zina, kami melihat perlu dirinci lebih meluas karena pentingnya perkara ini dan banyaknya kasus yang terjadi di seputarnya. Maka dengan mengharap curahantaufiq dan hidayah dari Allah Al-’Alim Al-Khabir, masalah ini kami uraikan sebagai berikut: Perempuan yang telah melakukan zina menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam hal bolehnya melakukan pernikahan dengannya terdapat persilangan pendapat dikalangan para ‘ulama.
Secara global para ‘ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina.
Syarat yang pertama: Bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista.
Dalam pensyaratan taubat ada dua pendapat dikalangan para ‘ulama:
Satu: Disyaratkan bertaubat. Dan ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq dan Abu ‘Ubaid.
Dua: Tidak disyaratkan taubat. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi’iy dan Abu Hanifah.
Tarjih
Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang mengatakan disyaratkan untuk bertaubat.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/109: “Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah yang benar tanpa keraguan.”
Tarjih di atas berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mu`minin.” (QS. An-Nur: 3)
Dan dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, beliau berkata:
أَنَّ مَرْثَدَ بْنَ أَبِيْ مَرْثَدٍ الْغَنَوِيَّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يَحْمِلُ الْأَسَارَى بِمَكَّةَ وَكَانَ بِمَكَّةَ امْرَأَةٌ بَغِيٌّ يُقَالُ لَهَا عَنَاقٌ وَكَانَتْ صَدِيْقَتَهُ. قَالَ: فَجِئْتُ إِلىَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَنْكِحُ عَنَاقًا ؟ قَالَ: فَسَكَتَ عَنِّيْ فَنَزَلَتْ: ((وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ)) فَدَعَانِيْ فَقَرَأَهَا عَلَيَّ. وَقَالَ: لاَ تَنْكِحْهَا
Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy membawa tawanan perang dari Makkah dan di Makkah ada seorang perempuan pelacur disebut dengan (nama) ‘Anaq dan ia adalah teman (Martsad). (Martsad) berkata: “Maka saya datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam lalu saya berkata: “Ya Rasulullah, Saya nikahi ‘Anaq?” Martsad berkata: “Maka beliau diam, maka turunlah (ayat): “Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.” Kemudian beliau memanggilku lalu membacakannya padaku dan beliau berkata: “Jangan kamu nikahi dia.” (Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745 dan disebutkan oleh Syeikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shohih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul)
Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram nikah dengan perempuan pezina. Namun hukumharam tersebut bila ia belum bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah hukumharam nikah dengan perempuan pezina tersebut berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam:
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
“Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa baginya.” (Dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Adh-Dho’ifah 2/83 dari seluruh jalan-jalannya)
Adapun para ‘ulama yang mengatakan bahwa kalimat ‘nikah’ dalam ayat An-Nur ini bermaknajima’ atau yang mengatakan ayat ini mansukh (terhapus hukumnya) ini adalah pendapat yang jauh dan pendapat ini (yaitu yang mengatakan bermakna jima’ atau mansukh) telah dibantah secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/112-116. Dan pendapat yang mengatakan haramnikah dengan perempuan pezina sebelum bertaubat, ini pula yang dikuatkan Asy-Syinqithy dalamAdwa Al-Bayan 6/71-84 dan lihat Zadul Ma’ad 5/114-115.
Dan lihat permasalahan di atas dalam: Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Mughny 9/562-563 (cet. Dar ‘Alamil Kutub), dan Al-Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah 2/582-585.
Catatan:
Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa perlu diketahui kesungguhan taubat perempuan yang berzina ini dengan cara dirayu untuk berzina kalau ia menolak berarti taubatnya telah baik. Pendapat ini disebutkan oleh Al-Mardawy dalam Al-Inshof 8/133 diriwayatkan dari ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas dan pendapat Imam Ahmad. Dan Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/125 kelihatan condong ke pendapat ini.
Tapi Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 9/564 berpendapat lain, beliau berkata: “Tidak pantas bagi seorang muslim mengajak perempuan untuk berzina dan memintanya. Karena permintaannya ini pada saat berkhalwat (berduaan) dan tidak halal berkhalwat dengan Ajnabiyah (perempuan bukan mahram) walaupun untuk mengajarinya Al-Qur’an maka bagaimana (bisa) hal tersebut dihalalkan dalam merayunya untuk berzina?”
Maka yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan zinanya sebagaimana ia bertaubat kalau melakukan dosa besar yang lainnya. Yaitu dengan lima syarat:
1. Ikhlash karena Allah.
2. Menyesali perbuatannya.
3. Meninggalkan dosa tersebut.
4. Ber‘azam dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.
5. Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum matahari terbit dari Barat dan sebelumruh sampai ke tenggorokan.
Dan bukan disini tempat menguraikan dalil-dalil lima syarat ini. Wallahu A’lam.
Syarat Kedua: Telah lepas ‘iddah.
Para ‘ulama berbeda pendapat apakah lepas ‘iddah, apakah merupakan syarat bolehnya menikahi perempuan yang berzina atau tidak, ada dua pendapat:
Pertama: Wajib ‘iddah.
Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry, An-Nakha’iy, Rabi’ah bin ‘Abdurrahman, Imam Malik, Ats-Tsaury, Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih.
Kedua: Tidak wajib ‘iddah.
Ini adalah pendapat Imam Syafi’iy dan Abu Hanifah, tapi ada perbedaan antara mereka berdua pada satu hal, yaitu menurut Imam Syafi’iy boleh untuk melakukan akad nikah dengan perempuan yang berzina dan boleh ber-jima’ dengannya setelah akad, apakah orang yang menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau selainnya. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya dan boleh ber-jima’ dengannya, apabila yang menikahinya adalah orang yang menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang menikahinya selain orang yang menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah tapi tidak boleh ber-jima’ sampai istibro` (telah nampak kosongnya rahim dari janin) dengan satu kali haid atau sampai melahirkan kalau perempuan tersebut dalam keadaan hamil.
Tarjih
Dan yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang wajib ‘iddah berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
1. Hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda tentang tawanan perang Authos:
لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعُ وَلاَ غَيْرُ حَامِلٍ حَتَّى تَحِيْضَ حَيْضَةً
“Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali.” (HR. Ahmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224 Al-Hakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thobarany dalam Al-Ausath no. 1973 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 307 dan di dalam sanadnya ada rowi yang bernama Syarik bin ‘Abdullah An-Nakha’iy dan ia lemah karena hafalannya yang jelek tapi hadits ini mempunyai dukungan dari jalan yang lain dari beberapa orang shohabat sehingga dishohihkan dari seluruh jalan-jalannya oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 187)
2. Hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, beliau bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ يَسْقِ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia menyiramkan airnya ke tanaman orang lain.” (HR. Ahmad 4/108, Abu Daud no. 2158, At-Tirmidzi no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qoni’ dalam Mu’jam Ash-Shohabah 1/217, Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thobaqot2/114-115, Ath-Thobarany 5/no.4482 dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 2137)
3. Hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam:
أَنَّهُ أَتَى بِامْرَأَةٍ مُجِحٍّ عَلَى بَابِ فُسْطَاطٍ فَقَالَ لَعَلَّهُ يُرِيْدُ أَنْ يُلِمَّ بِهَا فَقَالُوْا نَعَمْ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَلْعَنَهُ لَعْنًا يَدْخُلُ مَعَهُ قَبْرَهُ كَيْفَ يُوَرِّثُهُ وَهُوَ لاَ يَحِلُّ لَهُ كَيْفَ يَسْتَخْدِمُهُ وَهُوَ لاَ يَحِلُّ لَهُ.
Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda: “Barangkali orang itu ingin menggaulinya?” (Para sahabat) menjawab: “Benar.” Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda: “Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya.”
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah: “Dalam (hadits) ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang budak-pent.), syubhat (yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena ada kesamar-samaran-pent.) atau karena zina.”
Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang mengatakan wajib ‘iddah dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia). Wallahu A’lam.
Catatan:
Nampak dari dalil-dalil yang disebutkan di atas bahwa perempuan hamil karena zina tidak boleh dinikahi sampai melahirkan, maka ini ‘iddah bagi perempuan yang hamil karena zina dan ini juga ditunjukkan oleh keumuman firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Tholaq: 4)
Adapun perempuan yang berzina dan belum nampak hamilnya, ‘iddahnya diperselisihkan oleh para ‘ulama yang mewajibkan ‘iddah bagi perempuan yang berzina. Sebagian para ‘ulama mengatakan bahwa ‘iddahnya adalah istibro` dengan satu kali haid. Dan ‘ulama yang lainnya berpendapat: tiga kali haid yaitu sama dengan ‘iddah perempuan yang ditalak.
Dan yang dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad dalam satu riwayat adalah cukup dengan istibro`dengan satu kali haid. Dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry di atas. Dan ‘iddah dengan tiga kali haid hanya disebutkan dalam Al-Qur’an bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya sebagaimana dalam firman Allah Jalla Sya`nuhu:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْءٍ
“Dan wanita-wanita yang dithalaq (hendaknya) mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru`(haid).” (QS. Al-Baqarah: 228)
Kesimpulan Pembahasan:
1. Tidak boleh nikah dengan perempuan yang berzina kecuali dengan dua syarat yaitu, bila perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan nistanya dan telah lepas ‘iddah-nya.
2. Ketentuan perempuan yang berzina dianggap lepas ‘iddah adalah sebagai berikut:
• Kalau ia hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai melahirkan.
• Kalau ia belum hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai ia telah haid satu kali semenjak melakukan perzinahan tersebut. Wallahu Ta’ala A’lam.
Lihat pembahasan di atas dalam: Al-Mughny 9/561-565, 11/196-197, Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Inshof 8/132-133, Takmilah Al-Majmu’ 17/348-349, Raudhah Ath-Tholibin 8/375, Bidayatul Mujtahid 2/40, Al-Fatawa 32/109-134, Zadul Ma’ad 5/104-105, 154-155, Adwa` Al-Bayan6/71-84 dan Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah Lisyaikhil Islam Ibnu Taimiyah 2/582-585, 847-850.
2. Telah jelas dari jawaban di atas bahwa perempuan yang hamil, baik hamil karena pernikahan sah, syubhat atau karena zina, ‘iddahnya adalah sampai melahirkan. Dan para ‘ulama sepakat bahwa akad nikah pada masa ‘iddah adalah akad yang batil lagi tidak sah. Dan kalau keduanya tetap melakukan akad nikah dan melakukan hubungan suami-istri setelah keduanya tahu haramnya melakukan akad pada masa ‘iddah maka keduanya dianggap pezina dan keduanya harus diberi hadd (hukuman) sebagai pezina kalau negara mereka menerapkan hukum Islam, demikian keterangan Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 11/242.
Kalau ada yang bertanya: “Setelah keduanya berpisah, apakah boleh keduanya kembali setelah lepas masa ‘iddah?”
Jawabannya adalah ada perbedaan pendapat di kalangan para ‘ulama.
Jumhur (kebanyakan) ‘ulama berpendapat: “Perempuan tersebut tidak diharamkan baginya bahkan boleh ia meminangnya setelah lepas ‘iddah-nya.”
Dan mereka diselisihi oleh Imam Malik, beliau berpendapat bahwa perempuan telah menjadiharam baginya untuk selama-lamanya. Dan beliau berdalilkan dengan atsar ‘Umar bin Khaththabradhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan hal tersebut. Dan pendapat Imam Malik ini juga merupakan pendapat dulu dari Imam Syafi’iy tapi belakangan beliau berpendapat bolehnya menikah kembali setelah dipisahkan. Dan pendapat yang terakhir ini zhohir yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir-nya dan beliau melemahkan atsar ‘Umar yang menjadi dalil bagi Imam Malik bahkan Ibnu Katsir juga membawakan atsar yang serupa dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan bolehnya. Maka sebagai kesimpulan pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah boleh keduanya menikah kembali setelah lepas ‘iddah. Wal ‘Ilmu ‘Indallah.
Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 1/355 (Darul Fikr).
3. Laki-laki dan perempuan hamil yang melakukan pernikahan dalam keadaan keduanya tahu tentang haramnya menikahi perempuan hamil kemudian mereka berdua tetap melakukan jima’ maka keduanya dianggap berzina dan wajib atas hukum hadd kalau mereka berdua berada di negara yang diterapkan di dalamnya hukum Islam dan juga tidak ada maharbagi perempuan tersebut.
Adapun kalau keduanya tidak tahu tantang haramnya menikahi perempuan hamil maka ini dianggap nikah syubhat dan harus dipisahkan antara keduanya karena tidak sahnya nikah yang seperti ini sebagaimana yang telah diterangkan.
Adapun mahar, si perempuan hamil ini berhak mendapatkan maharnya kalau memang belum ia ambil atau belum dilunasi.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتُحِلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنْ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهَا
“Perempuan mana saja yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil, dan apabila ia telah masuk padanya (perempuan) maka baginya mahar dari dihalalkannya kemaluannya, dan apabila mereka berselisih maka penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali.” (HR. Syafi’iy sebagaimana dalam Munadnya 1/220,275, dan dalam Al-Umm 5/13,166, 7/171,222, ‘Abdurrazzaq dalam Mushonnafnya 6/195, Ibnu Wahb sebagaimana dalam Al-Mudawwah Al-Kubra 4/166, Ahmad 6/47,66,165, Ishaq bin Rahawaih dalamMusnadnya 2/no. 698, Ibnu Abi Syaibah 3/454, 7/284, Al-Humaidy dalam Musnadnya 1/112, Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no. 1463, Abu Daud no. 2083, At-Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo no. 700, Sa’id bin Manshur dalam Sunannya 1/175, Ad-Darimy 2/185, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 3/7, Abu Ya’la dalam Musnadnya no. 4682,4750,4837, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4074, Al-Hakim 2/182-183, Ad-Daruquthny 3/221, Al-Baihaqy 7/105,124,138, 10/148, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/88, As-Sahmy dalam Tarikh Al-Jurjan hal. 315, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1654 dan Ibnu ‘Abbil Barr dalam At-Tamhid 19/85-87 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` no.1840)
Nikah tanpa wali hukumnya adalah batil tidak sah sebagaimana nikah di masa ‘iddah hukumnya batil tidak sah. Karena itu kandungan hukum dalam hadits mencakup semuanya.
Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim.
Adapun orang yang ingin meminang kembali perempuan hamil ini setelah ia melahirkan, maka kembali diwajibkan mahar atasnya berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala:
وَآتُوا النِّسَاءَ صُدَقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
“Berikanlah kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar mereka dengan penuh kerelaan.”(QS. An-Nisa`: 4)
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً
“Berikanlah kepada mereka mahar mereka sebagai suatu kewajiban.” (QS. An-Nisa`: 24)
Dan banyak lagi dalil yang semakna dengannya. Wallahu A’lam.
Lihat: Al-Mughny 10/186-188, Shohih Al-Bukhary (Fathul Bary) 9/494, Al-Fatawa 32/198,200 dan Zadul Ma’ad 5/104-105.