Oleh:
Al-Ustâdz Abû Muhammad Dzulqarnain
1. Bagaimanakah hukumnya
pernikahan yang dilaksanakan ketika wanita yang dinikahi dalam keadaan hamil?
2. Bila sudah terlanjur
menikah, apakah yang harus dilakukan? Apakah harus cerai dulu, kemudian menikah
lagi atau langsung menikah lagi tanpa harus bercerai terlebih dahulu?
3. Dalam hal ini apakah
masih diperlukan mas kawin (mahar)?
Kami jawab -dengan
meminta pertolongan dari Allah Al-’Alim
Al-Hakim sebagai berikut:
1.
Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada
dua macam:
Satu: Perempuan
yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil.
Dua: Perempuan
yang hamil karena melakukan zina sebagaimana yang banyak terjadi di zaman ini -wal
‘iyadzu billah- mudah-mudahan Allah menjaga kita dan seluruh kaum
muslimin dari dosa terkutuk ini.
Adapun perempuan hamil
yang diceraikan oleh suaminya, tidak boleh dinikahi sampai lepas‘iddah[1]nya.
Dan ‘iddah-nya ialah sampai ia
melahirkan sebagaimana dalam firman AllahSubhanahu
wa Ta’ala:
وَأُولَاتُ
الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan
perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan
kandungannya.” (QS. Ath-Tholaq:
4)
Dan hukum menikah dengan
perempuan hamil seperti ini adalah haram dan
nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:
وَلَا
تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ
“Dan
janganlah kalian ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis
‘iddahnya.”(QS. Al-Baqarah:
235)
Berkata Ibnu Katsir
dalam tafsir-nya tentang makna ayat ini: “Yaitu jangan kalian melakukan akad
nikah sampai lepas ‘iddah-nya.”
Kemudian beliau berkata: “Dan para ‘ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah sah
pada masa ‘iddah.”
Lihat: Al-Mughny 11/227, Takmilah
Al-Majmu’ 17/347-348, Al-Muhalla 10/263
dan Zadul Ma’ad 5/156.
Adapun perempuan hamil
karena zina, kami melihat perlu dirinci lebih meluas karena pentingnya perkara
ini dan banyaknya kasus yang terjadi di seputarnya. Maka dengan mengharap
curahantaufiq dan hidayah dari
Allah Al-’Alim Al-Khabir,
masalah ini kami uraikan sebagai berikut: Perempuan yang telah melakukan zina
menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam hal bolehnya melakukan pernikahan
dengannya terdapat persilangan pendapat dikalangan para ‘ulama.
Secara global para
‘ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah dengan
perempuan yang berzina.
Syarat
yang pertama: Bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista.
Dalam pensyaratan taubat
ada dua pendapat dikalangan para ‘ulama:
Satu: Disyaratkan
bertaubat. Dan ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq dan
Abu ‘Ubaid.
Dua: Tidak
disyaratkan taubat. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi’iy dan Abu
Hanifah.
Tarjih
Yang benar dalam masalah
ini adalah pendapat pertama yang mengatakan disyaratkan untuk bertaubat.
Berkata Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/109:
“Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai
ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau
selainnya. Inilah yang benar tanpa keraguan.”
Tarjih di atas
berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:
الزَّانِي
لَا يَنْكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا
إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki
yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan
yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal
tersebut atas kaum mu`minin.” (QS. An-Nur:
3)
Dan dalam hadits ‘Amr
bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, beliau
berkata:
أَنَّ
مَرْثَدَ بْنَ أَبِيْ مَرْثَدٍ الْغَنَوِيَّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يَحْمِلُ
الْأَسَارَى بِمَكَّةَ وَكَانَ بِمَكَّةَ امْرَأَةٌ بَغِيٌّ يُقَالُ لَهَا عَنَاقٌ
وَكَانَتْ صَدِيْقَتَهُ. قَالَ: فَجِئْتُ إِلىَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَنْكِحُ عَنَاقًا ؟ قَالَ:
فَسَكَتَ عَنِّيْ فَنَزَلَتْ: ((وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ
مُشْرِكٌ)) فَدَعَانِيْ فَقَرَأَهَا عَلَيَّ. وَقَالَ: لاَ تَنْكِحْهَا
Sesungguhnya
Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy membawa tawanan perang dari Makkah dan di
Makkah ada seorang perempuan pelacur disebut dengan (nama) ‘Anaq dan ia adalah
teman (Martsad). (Martsad) berkata: “Maka saya datang kepada Nabi shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam lalu saya berkata: “Ya Rasulullah, Saya nikahi
‘Anaq?” Martsad berkata: “Maka beliau diam, maka turunlah (ayat): “Dan
perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina
atau laki-laki musyrik.” Kemudian beliau memanggilku lalu membacakannya padaku
dan beliau berkata: “Jangan kamu nikahi dia.” (Hadits hasan,
riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269,
Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745 dan
disebutkan oleh Syeikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shohih
Al-Musnad Min Asbabin Nuzul)
Ayat dan hadits ini
tegas menunjukkan haram nikah
dengan perempuan pezina. Namun hukumharam tersebut
bila ia belum bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah hukumharam nikah
dengan perempuan pezina tersebut berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam:
التَّائِبُ
مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
“Orang
yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa baginya.” (Dihasankan
oleh Syeikh Al-Albany dalam Adh-Dho’ifah 2/83
dari seluruh jalan-jalannya)
Adapun para ‘ulama yang
mengatakan bahwa kalimat ‘nikah’ dalam ayat An-Nur ini
bermaknajima’ atau
yang mengatakan ayat ini mansukh (terhapus
hukumnya) ini adalah pendapat yang jauh dan pendapat ini (yaitu yang mengatakan
bermakna jima’ atau mansukh)
telah dibantah secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/112-116.
Dan pendapat yang mengatakan haramnikah
dengan perempuan pezina sebelum bertaubat, ini pula yang dikuatkan
Asy-Syinqithy dalamAdwa Al-Bayan 6/71-84
dan lihat Zadul Ma’ad 5/114-115.
Dan lihat permasalahan
di atas dalam: Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Mughny 9/562-563
(cet. Dar ‘Alamil Kutub), dan Al-Jami’ Lil
Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah 2/582-585.
Catatan:
Sebagian ‘ulama
berpendapat bahwa perlu diketahui kesungguhan taubat perempuan
yang berzina ini dengan cara dirayu untuk berzina kalau ia menolak berarti
taubatnya telah baik. Pendapat ini disebutkan oleh Al-Mardawy dalam Al-Inshof 8/133
diriwayatkan dari ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas dan pendapat Imam Ahmad. Dan Ibnu
Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/125
kelihatan condong ke pendapat ini.
Tapi Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 9/564
berpendapat lain, beliau berkata: “Tidak pantas bagi seorang muslim mengajak
perempuan untuk berzina dan memintanya. Karena permintaannya ini pada saat berkhalwat (berduaan)
dan tidak halal berkhalwat dengan Ajnabiyah (perempuan
bukan mahram)
walaupun untuk mengajarinya Al-Qur’an maka bagaimana (bisa) hal tersebut dihalalkan
dalam merayunya untuk berzina?”
Maka yang benar adalah
ia bertaubat atas perbuatan zinanya sebagaimana ia bertaubat kalau melakukan
dosa besar yang lainnya. Yaitu dengan lima syarat:
1. Ikhlash karena
Allah.
2. Menyesali
perbuatannya.
3. Meninggalkan dosa
tersebut.
4. Ber‘azam dengan
sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.
5. Pada waktu yang masih
bisa bertaubat seperti sebelum matahari terbit dari Barat dan sebelumruh sampai
ke tenggorokan.
Dan bukan disini tempat
menguraikan dalil-dalil lima syarat ini. Wallahu
A’lam.
Syarat
Kedua: Telah lepas ‘iddah.
Para ‘ulama berbeda
pendapat apakah lepas ‘iddah,
apakah merupakan syarat bolehnya menikahi perempuan yang berzina atau tidak,
ada dua pendapat:
Pertama: Wajib ‘iddah.
Ini adalah pendapat
Hasan Al-Bashry, An-Nakha’iy, Rabi’ah bin ‘Abdurrahman, Imam Malik, Ats-Tsaury,
Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih.
Kedua: Tidak
wajib ‘iddah.
Ini adalah pendapat Imam
Syafi’iy dan Abu Hanifah, tapi ada perbedaan antara mereka berdua pada satu
hal, yaitu menurut Imam Syafi’iy boleh untuk melakukan akad
nikah dengan perempuan yang berzina dan boleh ber-jima’ dengannya
setelah akad, apakah orang yang
menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau selainnya.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat boleh melakukan akad
nikah dengannya dan boleh ber-jima’ dengannya,
apabila yang menikahinya adalah orang yang menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau
yang menikahinya selain orang yang menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah
tapi tidak boleh ber-jima’ sampai istibro` (telah
nampak kosongnya rahim dari janin) dengan satu kali haid atau sampai melahirkan
kalau perempuan tersebut dalam keadaan hamil.
Tarjih
Dan yang benar dalam
masalah ini adalah pendapat pertama yang wajib ‘iddah berdasarkan
dalil-dalil berikut ini:
1. Hadits Abu Sa’id
Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu,
sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wa sallam bersabda tentang tawanan perang Authos:
لاَ
تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعُ وَلاَ غَيْرُ حَامِلٍ حَتَّى تَحِيْضَ حَيْضَةً
“Jangan
dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak
hamil sampai ia telah haid satu kali.” (HR.
Ahmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224 Al-Hakim 2/212, Al-Baihaqy
5/329, 7/449, Ath-Thobarany dalam Al-Ausath no.
1973 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.
307 dan di dalam sanadnya ada rowi yang bernama Syarik bin ‘Abdullah
An-Nakha’iy dan ia lemah karena hafalannya yang jelek tapi hadits ini mempunyai
dukungan dari jalan yang lain dari beberapa orang shohabat sehingga dishohihkan
dari seluruh jalan-jalannya oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no.
187)
2. Hadits Ruwaifi’ bin
Tsabit radhiyallahu ‘anhu dari
Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wa sallam,
beliau bersabda:
مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ يَسْقِ مَاءَهُ زَرْعَ
غَيْرِهِ
“Siapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia menyiramkan airnya
ke tanaman orang lain.” (HR.
Ahmad 4/108, Abu Daud no. 2158, At-Tirmidzi no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu
Qoni’ dalam Mu’jam Ash-Shohabah 1/217,
Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thobaqot2/114-115,
Ath-Thobarany 5/no.4482 dihasankan
oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no.
2137)
3. Hadits Abu Ad-Darda`
riwayat Muslim dari Nabi shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam:
أَنَّهُ
أَتَى بِامْرَأَةٍ مُجِحٍّ عَلَى بَابِ فُسْطَاطٍ فَقَالَ لَعَلَّهُ يُرِيْدُ أَنْ
يُلِمَّ بِهَا فَقَالُوْا نَعَمْ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَلْعَنَهُ لَعْنًا يَدْخُلُ مَعَهُ
قَبْرَهُ كَيْفَ يُوَرِّثُهُ وَهُوَ لاَ يَحِلُّ لَهُ كَيْفَ يَسْتَخْدِمُهُ
وَهُوَ لاَ يَحِلُّ لَهُ.
Beliau
mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau
bersabda: “Barangkali orang itu ingin menggaulinya?” (Para sahabat) menjawab:
“Benar.” Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda:
“Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke
kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal baginya dan
bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya.”
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah:
“Dalam (hadits) ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya
menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau
ia seorang budak-pent.), syubhat (yaitu
nikah dengan orang yang haram ia
nikahi karena tidak tahu atau karena ada kesamar-samaran-pent.) atau karena
zina.”
Nampaklah dari sini
kuatnya pendapat yang mengatakan wajib ‘iddah dan
pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy,
Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga
Fatwa Saudi Arabia). Wallahu A’lam.
Catatan:
Nampak dari dalil-dalil
yang disebutkan di atas bahwa perempuan hamil karena zina tidak boleh dinikahi
sampai melahirkan, maka ini ‘iddah bagi
perempuan yang hamil karena zina dan ini juga ditunjukkan oleh keumuman firman
Allah ‘Azza wa Jalla:
وَأُولَاتُ
الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan
perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan
kandungannya.” (QS. Ath-Tholaq:
4)
Adapun perempuan yang
berzina dan belum nampak hamilnya, ‘iddahnya
diperselisihkan oleh para ‘ulama yang mewajibkan ‘iddah bagi
perempuan yang berzina. Sebagian para ‘ulama mengatakan bahwa ‘iddahnya
adalah istibro` dengan
satu kali haid. Dan ‘ulama yang lainnya berpendapat: tiga kali haid yaitu sama
dengan ‘iddah perempuan
yang ditalak.
Dan yang dikuatkan oleh
Imam Malik dan Ahmad dalam satu riwayat adalah cukup dengan istibro`dengan
satu kali haid. Dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan
hadits Abu Sa’id Al-Khudry di atas. Dan ‘iddah dengan
tiga kali haid hanya disebutkan dalam Al-Qur’an bagi perempuan yang ditalak
(diceraikan) oleh suaminya sebagaimana dalam firman Allah Jalla
Sya`nuhu:
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْءٍ
“Dan
wanita-wanita yang dithalaq (hendaknya) mereka menahan diri (menunggu) selama
tiga kali quru`(haid).” (QS. Al-Baqarah:
228)
Kesimpulan
Pembahasan:
1. Tidak boleh nikah
dengan perempuan yang berzina kecuali dengan dua syarat yaitu, bila perempuan
tersebut telah bertaubat dari perbuatan nistanya dan telah lepas ‘iddah-nya.
2. Ketentuan perempuan
yang berzina dianggap lepas ‘iddah adalah
sebagai berikut:
• Kalau ia hamil, maka ‘iddahnya
adalah sampai melahirkan.
• Kalau ia belum hamil,
maka ‘iddahnya
adalah sampai ia telah haid satu kali semenjak melakukan perzinahan tersebut. Wallahu
Ta’ala A’lam.
Lihat pembahasan di atas
dalam: Al-Mughny 9/561-565,
11/196-197, Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Inshof 8/132-133, Takmilah
Al-Majmu’ 17/348-349, Raudhah
Ath-Tholibin 8/375, Bidayatul
Mujtahid 2/40, Al-Fatawa 32/109-134, Zadul
Ma’ad 5/104-105, 154-155, Adwa`
Al-Bayan6/71-84
dan Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah
Lisyaikhil Islam Ibnu Taimiyah 2/582-585, 847-850.
2.
Telah jelas dari jawaban di atas bahwa perempuan yang hamil, baik hamil karena
pernikahan sah, syubhat atau karena zina, ‘iddahnya adalah sampai
melahirkan. Dan para ‘ulama sepakat
bahwa akad nikah pada
masa ‘iddah adalah akad yang batil lagi tidak sah. Dan kalau
keduanya tetap melakukan akad nikah dan melakukan hubungan
suami-istri setelah keduanya tahu haramnya melakukan akad pada masa
‘iddah maka keduanya dianggap pezina dan
keduanya harus diberi hadd (hukuman)
sebagai pezina kalau negara mereka menerapkan hukum Islam, demikian keterangan
Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 11/242.
Kalau ada yang bertanya:
“Setelah keduanya berpisah, apakah boleh keduanya kembali setelah lepas masa ‘iddah?”
Jawabannya adalah ada
perbedaan pendapat di kalangan para ‘ulama.
Jumhur (kebanyakan)
‘ulama berpendapat: “Perempuan tersebut tidak diharamkan
baginya bahkan boleh ia meminangnya setelah lepas ‘iddah-nya.”
Dan mereka diselisihi
oleh Imam Malik, beliau berpendapat bahwa perempuan telah menjadiharam baginya
untuk selama-lamanya. Dan beliau berdalilkan dengan atsar ‘Umar bin Khaththabradhiyallahu
‘anhu yang menunjukkan hal
tersebut. Dan pendapat Imam Malik ini juga merupakan pendapat dulu dari Imam
Syafi’iy tapi belakangan beliau berpendapat bolehnya menikah kembali setelah
dipisahkan. Dan pendapat yang terakhir ini zhohir yang dikuatkan oleh Ibnu
Katsir dalam tafsir-nya dan beliau melemahkan atsar ‘Umar yang menjadi dalil
bagi Imam Malik bahkan Ibnu Katsir juga membawakan atsar yang serupa dari ‘Umar
bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang
menunjukkan bolehnya. Maka sebagai kesimpulan pendapat yang kuat dalam masalah
ini adalah boleh keduanya menikah kembali setelah lepas ‘iddah. Wal
‘Ilmu ‘Indallah.
Lihat: Tafsir
Ibnu Katsir 1/355 (Darul Fikr).
3.
Laki-laki dan perempuan hamil yang melakukan pernikahan dalam keadaan keduanya
tahu tentang haramnya menikahi perempuan hamil kemudian
mereka berdua tetap melakukan jima’ maka
keduanya dianggap berzina dan wajib atas hukum hadd kalau
mereka berdua berada di negara yang diterapkan di dalamnya hukum Islam dan
juga tidak ada maharbagi perempuan tersebut.
Adapun kalau keduanya
tidak tahu tantang haramnya menikahi perempuan
hamil maka ini dianggap nikah syubhat dan
harus dipisahkan antara keduanya karena tidak sahnya nikah yang seperti ini
sebagaimana yang telah diterangkan.
Adapun mahar,
si perempuan hamil ini berhak
mendapatkan maharnya kalau memang belum ia ambil atau belum
dilunasi.
Hal ini berdasarkan
hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wa sallam bersabda:
أَيُّمَا
امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا
بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا
اسْتُحِلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنْ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ
وَلِيَّ لَهَا
“Perempuan
mana saja yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil,
nikahnya batil, dan apabila ia telah masuk padanya (perempuan) maka baginya
mahar dari dihalalkannya kemaluannya, dan apabila mereka berselisih maka
penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali.” (HR.
Syafi’iy sebagaimana dalam Munadnya
1/220,275, dan dalam Al-Umm 5/13,166,
7/171,222, ‘Abdurrazzaq dalam Mushonnafnya
6/195, Ibnu Wahb sebagaimana dalam Al-Mudawwah
Al-Kubra 4/166, Ahmad 6/47,66,165, Ishaq bin Rahawaih dalamMusnadnya
2/no. 698, Ibnu Abi Syaibah 3/454, 7/284, Al-Humaidy dalam Musnadnya
1/112, Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya
no. 1463, Abu Daud no. 2083, At-Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Ibnu
Jarud dalam Al-Muntaqo no.
700, Sa’id bin Manshur dalam Sunannya
1/175, Ad-Darimy 2/185, Ath-Thohawy dalam Syarah
Ma’any Al-Atsar 3/7, Abu Ya’la dalam Musnadnya
no. 4682,4750,4837, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no.
4074, Al-Hakim 2/182-183, Ad-Daruquthny 3/221, Al-Baihaqy 7/105,124,138,
10/148, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/88,
As-Sahmy dalam Tarikh Al-Jurjan hal.
315, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.
1654 dan Ibnu ‘Abbil Barr dalam At-Tamhid 19/85-87
dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` no.1840)
Nikah tanpa wali
hukumnya adalah batil tidak sah sebagaimana nikah di masa ‘iddah hukumnya
batil tidak sah. Karena itu kandungan hukum dalam hadits mencakup semuanya.
Demikian rincian Ibnu
Qudamah, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim.
Adapun orang yang ingin
meminang kembali perempuan hamil ini setelah ia melahirkan, maka kembali
diwajibkan mahar atasnya
berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala:
وَآتُوا
النِّسَاءَ صُدَقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
“Berikanlah
kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar mereka dengan penuh kerelaan.”(QS. An-Nisa`:
4)
Dan firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala:
فَآتُوْهُنَّ
أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً
“Berikanlah
kepada mereka mahar mereka sebagai suatu kewajiban.” (QS. An-Nisa`:
24)
Dan banyak lagi dalil
yang semakna dengannya. Wallahu A’lam.
Lihat: Al-Mughny 10/186-188,
Shohih Al-Bukhary (Fathul Bary) 9/494, Al-Fatawa 32/198,200
dan Zadul Ma’ad 5/104-105.